Helmku sudah basah tidak hanya oleh air hujan, tapi juga
oleh air mataku. Sial sekali, selama ini aku selalu mengejek siapapun yang
menangis dalam hal cinta. Tapi kini aku harus menjilat sendiri air liurku itu.
Memang sakit.
Aku tersenyum getir di balik helm yang terasa dingin. Kususuri jalanan menuju
rumah dengan amarah. Dalam kondisi hujan seperti ini jalanan jadi semakin sepi
dan aku bisa menumpahkan amarahku dengan memacu motor dengan kecepatan tinggi.
Kumasuki halaman rumah dengan memainkan gas motor. Lalu
kemudian sebuah teriakan membuat amarahku luntur. Teriakan itu datang dari
dalam rumah. Teriakan yang selalu aku dengar dan mewarnai hari-hariku sejak
kecil. Teriakan mama.
Aku bergegas memasuki rumah dan kudapati mama yang sudah
tertunduk di sebelah meja makan. Pecahan-pecahan gelas dan piring berserakan
hampir di seluruh permukaan meja dan lantai. Kursi-kursi berjatuhan.
“Ma... Mama...” Aku berteriak dan menghampiri mama.
Ternyata di depannya sudah ada Alsen yang berdiri dengan ikat pinggang menggulung
di tangannya. Bersiap mengeksekusi dan memanfaatkan ikat pinggang itu sebagai
cambuk.
“Apa yang kamu lakukan?” Sebenarnya terlalu bodoh
menanyakan hal itu. Jelas dia sedang menyiksa mama. Namun sebenarnya tujuan
utamaku bukan bertanya, melainkan menggertak agar dia berhenti menyiksa mama.
“Ini juga, anak tidak tahu diuntung. Ini semua karena
kamu gagal mendidiknya Bulan. Dasar wanita murahan,” Alsen mengucapkan
kalimatnya dengan lancar dan tanpa perasaan berdosa.
Hal itu membuatku meradang. Seketika aku berdiri dan
menerjang tubuhnya yang besar. Aku tidak takut sama sekali karena tubuh kami
sama-sama besar. Jadi kalau tidak aku yang roboh pasti dia. Tapi nampaknya aku
kalah pengalaman karena sebagai polisi intelejen dia terbiasa duel semacam ini.
Didorongnya tubuhku hingga jatuh dan menabrak kulkas. Mama menjerit dan hendak
menolongku, tapi tangan besar Alsen menghalanginya. Kini tubuhku yang menjadi
sasaran cambuk ikat pinggang di tangan Alsen. Tapi tidak masalah, setidaknya
mama bisa terhindar dari ikat pinggang itu.
Mama sekali lagi berusaha melindungiku. Ia mencoba
menghadang cambuk itu dengan punggungnya. Sebelum sempat menyentuh punggungnya
Alsen menyingkirkan mama. Hingga akhirnya laki-laki brengsek itu merasa puas
dia meninggalkan kami yang sudah penuh luka.
“Ajari anakmu baik-baik,” Alsen meninggalkan kami. Mama
hanya bisa menangis. Aku bangkit perlahan dan mendekati mama. Air matanya tidak
terbendung, perlahan aku memeluknya dan membisikkan kalimat yang selalu aku
katakan saat rutinitas seperti ini terjadi. “Harusnya mama menceraikan dia
sejak dulu.”
***
Aku sedang memindahkan data-data dari kamera ke dalam laptopku
saat mama masuk ke dalam kamar. Di tangannya terdapat kotak obat dan sebaskom
air dan handuk. “Sini biar obati luka kamu,” suaranya bergetar dan tampak ia
berusaha menguatkan dirinya.
“Ah mama, taruh sajalah di meja. Biar nanti aku bersihkan
sendiri.” Aku menghentikan pekerjaanku dan mendekat ke arahnya. “Sini biar aku
bersihkan luka mama,” aku mengambil handuk dari tangannya. Setelah mencelupkan
handuk ke air hangat dan memerasnya, kubersihkan pelipis dan pipi mama yang
bengkak. Ada bagian pelipis yang tampak membiru.
“Kita harus memberinya pelajaran, Ma. Mama bisa melaporkannya
bila tak mau menceraikannya. Kalau mama nggak mau biar aku saja yang
melakukannya,” Aku mencerocos menasehati mama sambil terus membersihkan
lukanya.
“Jangan seperti itu, Ga. Kasihan dia. Sekarang coba kamu
pikir kalau mama memperkarakan atau menceraikannya. Karirnya akan hancur,” mama
masih saja membelanya setelah semua ini terjadi.
“Lalu mama tidak kasihan dengan diri mama sendiri.
Denganku. Nenek saja, yang masih orang tua kandung laki-laki sialan itu
memberikan ijin kepada Mama untuk menceraikannya,” aku sedikit jengkel dengan
ucapan Mama. Jelas aku tidak bisa mengatakannya bodoh, tidak mungkin. Tapi
jelas Mama sudah dibutakan oleh cintanya.
Setelah tampak bersih aku mengambil kapas dan menuangkan obat
merah di atasnya. Pelan-pelan kutempelkan kapas itu ke luka Mama. Ia sedikit
mengernyit menahan rasa sakit. “Kita bisa memulai hidup baru tanpa dia, Ma. Aku
sudah punya pekerjaan sekarang, setidaknya Harian Bagaskara mau memperpanjang
kontraku,” Aku terus berusaha membujuk Mama agar mau bercerai dengan suaminya
itu.
Mama hanya diam. Saat aku mulai membersihkan pipinya dia
menyela dan memegang tanganku. “Braga, dengarkan Mama. Mama harap ini terakhir
kalinya Mama berkata seperti ini padamu. Ingat, bagaimanapun juga dia tetap Papa
kamu. Tanpa dia kamu tidak akan lahir. Maafkanlah segala perbuatannya.
Percayalah, suatu saat dia pasti akan berubah. Dia hanya butuh waktu,” kini
giliran Mama yang menceramahiku.
“Tapi sampai kapan,
Ma?”
Aku mencoba mendebat pernyataannya. Tapi yang kudapatkan hanya diam. Kini
giliran Mama yang membersihkan luka-lukaku. Ia memintaku membuka kaos. Dan
entah mengapa aku mengikuti perintahnya. Pelan-pelan Mama mulai membersihkan
luka di pundak, leher, wajah, dada dan punggungku. Rasa perih menjalar ke seluruh
tubuh. “Pelan-pelan dong, Ma,” aku memanja.
“Ah, kamu seperti anak kecil saja,” Mama semakin menekan
handuknya tepat dilukaku. Aku mengeliat kesakitan sambil tertawa.
Tiba-tiba hapeku berbunyi. Kinan menelpon. Mama sempat
melirik siapa yang menelpon anaknya malam-malam begini. Alih-alih menjawabnya
justru telpon Kinan kumatikan.
“Kenapa nggak
diangkat?” Mama mulai kepo.
“Nggak papa,”
jawabku sewot.
“Udah lama ya Kinan nggak main ke sini. Sekali-sekali
kamu ajak lah ke sini. Dia jualan pecel ya, kok pecel buatannya bisa enak
begitu,” Mama mulai melawak.
“Nggak usah bahas dia lah,
Ma,
aku lagi males ngomongin dia,” Aku mulai terganggu.
“Kamu bertengkar ya sama dia?” Kepo mama mulai memuncak.
Aku tidak mungkin bercerita tentang apa yang aku alami
sebelum pulang. Aku tidak tega untuk bercerita jika mengingat apa yang dialami
oleh Mama beberapa jam kebelakang. Maka aku lebih memilih diam dan memainkan
hape. Berpura-pura mengecek email dan WA.
“Ga...” tiba-tiba mama memanggilku dengan nada serius.
“Iya, Ma,” aku menelan ludah. Bersiap dengan penyataan,
pertanyaan ataupun bentuk wejangan serius yang mungkin keluar dari mulut Mama tentang
hubunganku dengan Kinan.
“Kamu belum mandi ya. Baumu lebus banget.”
***
Ini adalah mandi paling menyiksa yang pernah aku lakukan.
Aku mengeliat-geliat saat shower
mengucurkan airnya ke seluruh tubuhku. ‘Lukisan’ karya Alsen meninggalkan
guratan yang mengangga merah. Obat merah yang dilaburkan mama semalam ternyata
tidak cukup ampuh. Beberapa luka masih mengucurkan darah merah yang membuat
lantai kamar mandi berwarna kemerahan.
Dasar
Papa sialan, aku merutukinya dalam hati sambil menahan perih.
Setelah selesai mandi aku tidak langsung memakai baju.
Aku mengolesi luka-lukaku dengan salep yang semalam dikasih Mama.
Ditengah-tengah aktivitas itu pintu kamarku diketuk seseorang dari luar.
“Ga... Braga... Buruan sarapan nih,” suara nenek menyahut
dari luar.
Semalam, setelah Mama selesai mengobati lukaku, aku
sengaja mengirim pesan kepada Nenek. Hanya Nenek yang bisa melindungi Mama dari
Alsen. Dan tidak kusangka Nenek sudah datang sepagi ini.
“Iya Nek,” aku menyahut singkat agar beliau tahu kalau
aku sudah bangun.
Aku bergegas memakai baju dan menyiapkan perlatan
fotografiku. Setelah siap aku keluar dan sudah kudapati Mama dan Nenek di meja
makan. Tidak lupa pula ada Alsen di sana. Mama langsung mengambilkan nasi goreng
dan telur mata sapi untukku.
“Biarkan dia ambil makanannya sendiri,” Alsen
mengingatkan Mama.
Mama langsung meletakkan piring yang akan diberikan
padaku. Belum sempat Mama meletakkannya aku mengambil piring itu dan tersenyum
manis padanya. Kuambil makananku sendiri dan mulai menikmatinya dengan hati
terpaksa.
“Ma, aku berangkat dulu. Ada dinas luar kota hari ini,”
Alsen berpamitan kepada Nenek setelah selesai minum dan mengelap mulutnya
dengan tisu.
“Dinas apa hari Minggu seperti ini,” aku menyindir
sembari terus makan tanpa melihat wajahnya.
“Braga, jaga omongan kamu,” Mama sempat mengingatkanku.
“Palingan juga ke rumah istri muda dan main sama
anak-anaknya,” aku tidak mau kalah dan tetap menyindirnya sambil terus
menikmati nasi gorengku.
“Ngomong apa kamu anak kecil,” Alsen mulai meradang. Aku
merasa menang kali ini. Alsen tidak mungkin memukulku apalagi memukul Mama.
Keberadaan Nenek membuatku dan Mama aman, setidaknya untuk sementara. Tapi itu
cukuplah untuk sedikit menentangnya tanpa harus menerima siksaan.
“Sudah... Sudah... Alsen, cepat kamu berangkat. Braga,
habiskan makananmu. Kamu harus memberi materi fotografikan hari ini,” Nenek berusaha
melerai pertengkaran yang belum kami mulai. Dan usaha Nenek berhasil. Karena
setelah itu Alsen berangkat keluar dan aku meneruskan makanku. Beberapa menit
setelahnya aku meninggalkan meja makan dan menuju studio tempatku menjadi tutor
fotografi part time.
***
Aku baru saja selesai dengan seorang anak yang bertanya
tentang cara menciptakan efek bokeh yang bagus saat hapeku berbunyi. Intro lagu
Beliver dari Gogo Dolls yang
kujadikan nada dering mengalun pelan. Aku segera mengangkatnya karena telepon
itu dari Nenek.
“Ga, kamu cepetan pulang!” Suara nenek terdengar kalut di
seberang sana.
“Ada apa nek?” aku balik bertanya dan sekarang pikiranku
mulai tidak enak.
Alih-alih menjawab nenek tetap memerintahku untuk pulang
dan menutup teleponnya dengan segera.
Tanpa berpikir panjang aku bergegas pulang dan memacu
motor dengan cepat. Saat tiba di rumah Nenek sudah menungguku di depan rumah.
Wajahnya penuh keringat dan terlihat panik.
“Ada apa, Nek?” aku bertanya sembari mencium tangannya.
“Mama kamu,” wajah Nenek semakin tidak karuan.
“Kenapa dengan Mama?” aku masih memburu Nenek dengan
pertanyaan meskipun aku sendiri tetap berjalan menuju kamar Mama.
Namun sebelum nenek menjawab pengelihatan di depanku
menjawab semuanya. Tubuh Mama terkulai tak berdaya di atas ranjangnya. Tangan
kirinya mengeluarkan darah yang membasahi seprei. Aku langsung mendekat ke arah
Mama dan mencoba menghentikan pendarahan dengan mengikat lengan atasnya
menggunakan tali tas kameraku.
“Mama,” aku setengah menjerit. “Apa yang Mama pikirkan
hah,” air mataku mulai mengucur jatuh. “Nek, cepat panggil ambulan,” aku
meminta Nenek untuk menelpon ambulan.
“Sudah, tapi dari tadi ambulan belum juga datang,” Nenek semakin
kalut dan sekarang duduk bersimpuh di sebelah Mama.
“Udah, nggak papa,” suara Mama terdengar sangat kecil.
Ah, Mama. Bisa-bisanya dia berkata ‘udah, nggak papa’ disaat seperti ini.
“Ma... Kenapa Mama tega ngelakuin ini. Gimana dengan
Braga. Gimana dengan Nenek. Kenapa Mama mau ninggalin kita. Aku mengangkat
kepala Mama ke atas pangkuanku. Aku mulai menciumi keningnya yang terasa
dingin.
“Ma...,” Mama memanggil Nenek. “Tolong jaga Braga ya,
maafin aku kalau nggak bisa jadi menantu yang baik buat Mama,” Mama mulai
meneteskan air mata.
“Untuk kamu Braga, maafkanlah Papamu. Dia orang yang
baik,” kalimat Mama terputus. Napasnya mulai pendek dan tanpa menunggu lama,
beberapa detik kemudian suara Mama menghilang.
Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Yang aku
lakukan hanya menangis dan merangkul tubuh Mama yang sudah tidak bernapas. Nenek
menangis tersedu dan mencoba menenangkan aku. Bukannya malah tenang, kemarahanku
keluar. Semua ini gara-gara Alsen sialan.
***
Pemakaman memang bukan tempat yang layak untuk dijadikan tempat
bermain. Namun seumpama hal itu boleh, maka aku akan rela memindah rumahku di
sebelah makam di depanku sekarang. Makam ini tidak jauh berbeda dengan yang
lain. Batu andesit berwarna kelabu dengan tulisan yang setiap kali kubaca
terasa menyayat hati: Bulan Kirana Adelina. Makam Mama.
Hujan semakin deras dan itu tidak membuatku ingin
beranjak. Orang terakhir yang meninggalkanku sendiri adalah Nenek. Ia sempat
berujar bahwa Mama tidak akan senang jika aku bersedih terlalu lama sebelum
meninggalkanku. Ucapan Nenek ada benarnya. Mama adalah satu-satunya orang yang
ketika semua dalam kondisi bersedih maka dia akan tersenyum. Satu-satunya orang
bisa melihat hal-hal menyenangkan saat kondisi terburuk menerpa. Tapi mengapa Mama
melakukan ini? Bunuh diri. Meninggalkan aku sendiri bersama Alsen si Papa tak
layak pakai itu.
“Kenapa kamu masih di sini?” Alsen tiba-tiba datang dan
memayungiku.
“Masih ingat kami berdua?” Kurasa ucapanku terlalu
sarkastis, tapi aku bahagia saat kalimat itu terlontar.
“Dengar, Papa tidak ingin membahas hal itu di sini. Jaga
kehormatan Mamamu di tempat peristirahatannya.”
Ucapan Alsen benar-benar membuat telingaku geli.
Kehormatan? Dia bilang kehormatan. “Bukannya kamu yang sudah membuat Mama menjadi
perempuan tidak terhormat?” Aku mengucapkan kalimat tersebut dengan air mata
yang tersembunyi dibalik hujan. Kutinggalkan pemakaman dan Alsen sendirian.
Pemakaman yang tadinya tenang mendadak terasa panas di tengah hujan. Sama seperti
rumah. Awalnya kami hidup tenang, lalu berubah seperti neraka di tengah
kedamaian.
Aku menyusuri pemakaman yang dipenuhi rumput-rumput hijau
yang tumbuh subur. Semua ini menyadarkanku bahwa hujan tidak akan pernah
menjamin kebahagiaan apapun kendati ia memberikan rasa sejuk. Karena sejatinya
hujan adalah malapetaka itu sendiri.
It’s time to say good
bye to the rain.