Tempat Kata-Kata Bermuara

[NOVEL - THE SURV ISLANDS] CHAPTER 3

Hazeem membetulkan posisi topinya yang miring diterpa angin. Topi daun kelapa berwarna kecokelatan itu tampak menarik di mata Egam. Berbentuk setengah lingkaran tanpa rumbai. Anyamannya tampak serabutan, tapi sangat berguna untuk menutupi kepala botak Hazeem.
Di kepala Hazeem hampir tidak ada rambut sehelai pun. Terkecuali bila jenggot, alis dan bulu mata dihitung. Egam sebenarnya ingin menahan tawa, mungkin rambut dikepalanya migrasi ke jenggot. Tapi, ia mengurungkan niatnya tertawa bila teringat kamar Hazeem yang dibuatnya berantakan dan lengannya yang berdarah karena ulahnya. Lengan itu sudah dibebat dengan sejenis kulit kayu yang katanya mampu untuk menyembuhkan berbagai luka.
“Hazeem,” suara Egam tercekat. Ia menelan ludah dan merasa takut untuk memulai pembicaraan.
“Ya bocah,” balas Hazeem.
“Maaf tentang lenganmu ...” berhenti sejenak untuk mengernyit, “... dan, kamarmu.”
“Ouw, nggak usah kau pedulikan hal itu. Aku bisa merapikannya nanti.”
“Tapi….”
“Lupakan saja. Lihat!” Hazeem menunjuk gundukan berwarna hijau di depan mereka. “Itu Pulau Mapia atau Pegun. Tapi, kita di sini memanggilnya Pulau Panjang,” Hazeem menelan ludahnya. Ia merasa haus dan menghentikan ocehannya sejenak. Mengambil botol di sela-sela jok jet boat dan minum dari dalamnya. “Itu tempat Mapos tinggal.”
Egam memandangnya lekat-lekat. Ada aura menyeramkan saat Egam mengamatinya. Meskipun begitu pulai itu tampak begitu asri dan hijau dari kejauhan.
“Mapos?” Egam memandang wajah Hazeem penuh tanya.
“Mapos sama kayak kita. Objek gagal percobaan yang dibuang S-K.I.T ke sini. Cuman mereka itu sedikit beda dengan kita. Mereka mengalami degenarasi sel-sel otak, tapi sel-sel tubuh lainnya berkembang secara liar, seperti kanker. Merubah mereka menjadi bentuk aneh. Cakar panjang. Dan, aku yakin kau nggak bakalan mau kencan bareng mereka.”
Egam mendengar sambil membayangkan bagaimana wujud Mapos itu. Menerjemahkan kalimat Hazeem terlalu sulit baginya; degenerasi sel-sel otak. Belum lagi tentang S-K.I.T dan objek percobaan gagal yang membuat kepalanya berpikir keras. Semuanya terasa asing dan membuatnya berlalu begitu saja.
Hazeem paham bahwa bocah di sampingnya itu masih menerka-nerka apa yang sedang terjadi.
“Zombie. Kau tahu? Mereka jadi zombie, bocah. Ah, nggak perlu kau pikir berlebihan. Yang penting jangan sekali-kali pergi ke pulau itu sendiri. Jika kau patuhi semuanya, kau akan hidup damai di sini.”
Egam bergidik mendengar kata zombie yang keluar dari mulut Hazeem. Bulu tengkuknya berdiri-diri membayangkan hal itu. Tapi, dia heran, mengapa laki-laki berwajah arab di sebelahnya ini bisa begitu enteng menjadikannya sebagai bahan pembicaraan, bahkan terdengar seperti lelucon.
“Tapi mengapa kita tidak berubah seperti mereka?” Egam heran merasakan paradoks tersebut. Tapi, Hazeem hanya mengangkat bahu dan alisnya. Membuat Egam terdiam kembali.
Dalam sisa perjalanan menuju Pulau Panjang Hazeem menjelaskan semua tentang Kepulauan Mapia dan mengapa mereka bertujuh bisa dibuang ke tempat ini. Mereka bertujuh awalnya adalah staf pengembang virus di instalasi S-K.I.T, lembaga pemerintah yang bergerak secara sembunyi-sembunyi untuk mengembangkan virus selama perang biologi berlangsung. Mereka melakukan pemberontakan dengan merusak instalasi S-K.I.T Jakarta dan membocorkan seluruh lokasi instalasi kepada pemberontak yang menentang perang biologi dan pemerintah. Sayangnya mereka gagal melarikan diri dan menjadikan mereka sebagai kelinci percobaan. S-K.I.T menganggap mereka bertujuh menunjukkan perkembangan yang dapat membahayakan subjek penelitian lain sehingga terpaksa harus dibuang ke Kepulauan Mapia. Tempat karantina bagi objek gagal penelitian S-K.I.T. Hazeem juga bercerita bahwa dirinya dan teman-temannya dibuang ke Pulau Bras saat berumur lima belas tahun.
Sama seperti usiaku saat ini, pikir Egam.
“Kami menghianati mereka. Menurutmu, apa kesalahanmu hingga dibuang ke sini?” Hazeem bertanya tiba-tiba.
Egam tidak siap dengan pertanyaan itu, lagi pula tidak ada ingatan tentang itu, untuk mengalihkan jawaban atas pertanyaan itu Egam justru bertanya balik yang membuat Hazeem diam cukup lama sebelum menjawabnya dengan mantap. “Bagaimana kalian bisa bekerja pada S-K.I.T di usia semuda itu?”
“Orang-orang tertentu punya kelebihan daripada yang lain bocah,” Hazeem menjawab dengan diplomatis yang justru membuat Egam semakin mengganjal. “Kau tahu, di kepulauan ini ada tiga pulau utama. Sebenarnya ada dua pulau kecil lainnya, Bras Kecil dan Fanildo Kecil. Fanildo Kecil hanya pulau karang di sisi utara Pulau Fanildo. Itu kearah barat kalau dari pulau yang kita tinggali. Tapi, kita nggak akan ke sana, hari ini kita sibuk sekali, lagi pula nggak ada apa-apa di sana. Kalau Bras Kecil ada di sisi timur laut Pulau Bras yang kita tinggali. Dan, saat cuaca cerah kau bisa berenang di laguna, di sisi  kanan kita itu,” Hazeem menunjuk laguna yang berwarna biru tua. Bagi Egam kepulauan ini seperti atol dengan laguna di tengahnya. “Oh ya, hampir lupa. Kalau malam jangan keluar pulau.”
“Ken…”
“Mapos hanya takut dengan cahaya matahari. Kulit mereka terbakar jika kena cahaya matahari,” Hazeem memotong omongan Egam.
“Jadi?” Egam merasa bingung dengan pernyataan Hazeem. Dia terlalu memutarkan kata-kata. Membuat Egam berpikir keras untuk menafsirkannya
“Oh, ayolah.”
Egam menelan ludah. “Jadi Mapos-Mapos itu akan datang ke pulau kita saat malam hari.”
Hazeem melihat Egam dengan tatapan geli. Jelas Egam merasa ketakutan. Dia jadi sedikit menyesal mengatakan hal itu. “Tenang bocah. Nanti Hans bakal tunjukkin sesuatu ke kamu.”
“Apa? Nanti?”
“Ya” Hazeem mengangguk penuh semangat dan senyum geli. “OK, kita sampai,” Hazeem melompati pintu jeep. “Ayo bocah.”
Share:

[PUISI] PUTIH


Saat singgah di Madrid
Dikatainya aku: BLANCO

Langkahku goyah di Tokyo
Dihinanya aku: SHIRO

Tersuruk tubuh di Mekkah
Dibid’ahkan aku: ‘ABYAD

Menggelinding hatiku di London
Dicaci aku: WHITE

Aku pulang
Membawa warna
Yang mereka katakan
Yang mereka hinakan
Yang mereka bid’ahkan
Yang mereka cacikan

Dasar mata manusia yang menyeleweng
Lidah mereka yang terlalu pendek
Mereka tidak tahu
Jika…
Sebenarnya…
Aku…
Adalah… PUTIH

Share:

MUSIM 2 - KARTIKA


Mendadak belalang hilang dari peredaran. Sawah-sawah mulai dipenuhi oleh asap sisa pembakaran jerami. Mengepul putih, membumbung tinggi, lalu lenyap serupa awan yang dikacaukan elang. Inilah saat para wanua, petani sawah, akan menanam palawija. Tuwowo, sang pembagi air irigasi mulai bekerja ekstra. Selama musim ketiga (baca: ketigo. Huruf ‘o’ dibunyikan seperti dalam kata ondhel-ondhel) yang tidak kurang dari delapan puluh delapan hari, keadilan dan integritas seorang tuwowo akan dipertaruhkan. Bisakah mereka membagi air untuk tanah sawah kering berhektar-hektar di dusunku. Maka jika kau datang ke sawah tepat disaat subuh dan kau dapati bayangan manusia di pintu air, jangan kira bayangan itu bedenggik yang sedang mencari anaknya. Itu adalah tuwowo yang sedang berpikir supaya jabatan mereka tidak lengser diganti orang karena dianggap tidak becus membagi air.
Seorang tuwowo dipilih saat musim ketiga berakhir melalui musyawarah mufakat yang dilakukan oleh para sesepuh dusun. Tidak pernah ada voting disetiap pemilihan tuwowo. Sebab warga dusun selalu percaya dengan para sesepuh yang dianggap memiliki ilmu agama tinggi dan kebijaksanaan yang tidak diragukan. Sehingga para sesepuh dusun akan memilih tuwowo dengan sangat hati-hati agar tidak disalahkan oleh warga karena memilih seorang yang serakah dan tidak adil sebagai pembagi air. Maka jadilah jabatan tuwowo adalah sebuah kebanggaan maha agung tiada duanya di dusunku.
Tuwowo tidak pernah mendapatkan gaji dari siapapun, tapi sebagai gantinya mereka akan mendapat sepetak tanah bengkok, jatah air lebih banyak untuk sawah mereka, dan jatah sembako setiap bulan dari dusun. Maka, sesiapa saja yang ingin menjadi tuwowo, mereka akan bekerja giat selama setahun terakhir, membagi pupuk kepada petani lain, rela tanamannya kerdil asal tanaman petani lain menjadi lebat dan rela keluarga mereka makan seadanya karena hasil panen harus dibagi-bagi dengan sesepuh dusun. Sungguh jabatan tuwowo ini membuat para pengejarnya menjadi baik hati dan suka bersedekah.
***
Tidak pernah ada tradisi ulang tahun di rumahku. Apatah yang akan kami gunakan untuk membeli kue berhias lilin sesuai umur itu? Untuk makan esok hari saja kami cari hari ini. Namun Emak sudah berjanji untuk memberi kejutan saat aku berulang tahun yang ke-5, tapi aku tidak yakin jika kejutan dari Emak akan berupa kue ulang tahun yang indah. Maka aku tidak berharap lebih dengan kejutan rahasia itu, meskipun aku sendiri sudah senang tidak karuan di malam hari tanggal 21 Juni.
Tidak bisa tidur aku dibuatnya. Aku sibuk memandangi jam tua di dinding kamarku yang jarum detiknya sudah patah. Membuat jarum detik itu jadi jarum paling pendek di antara jarum lain. Hingga menjelang subuh aku masih terjaga, sampai akhirnya Emak yang malam ini sengaja tidak berjualan ke pasar untuk memberiku kejutan memasuki kamarku yang pengap.
“Lho. Sudah bangun rupanya,” ucapnya sambil tersenyum. Aku bangkit dari kasur.
“Cepat pakai jaket, akan Emak kasih tahu kejutannya,” perempuan itu tersenyum lagi sambil menggelung rambutnya.
Segera aku memakai jaket putih motif hello kitty yang tergantung di pintu. Kuikuti Emak yang sudah keluar dari kamar lebih dulu. Dinginnya pagi diawal musim kemarau membuat napasku berasap. Bulu tengkukku berdiri-diri. Kulitku serasa membeku. Ketiga telah di depan mata.
***
Aku selalu menghina orang-orang yang memiliki hobi melihat bintang: stargazzing. Kurasa konyol jika aktivitas mengamati bintang disebut sebagai hobi. Sebab nenek moyang kami, orang-orang Nusantara, apa pun pekerjaan mereka, mereka selalu melakukannya: mengamati bintang-bintang. Moyang kami yang bekerja di sawah akan mengamati bintang-bintang untuk menentukan masa tanam, panen hingga memilih jenis tanaman apa yang akan ditaburkan di lahan pertanian mereka.
Mereka yang memiliki perahu untuk menangkap ikan akan menggunakan bintang sebagai pedoman kapan harus pergi menebar jala. Bintang-bintang menunjukkan arah bagi mereka. Sebuah mekanisme navigasi canggih yang sederhana dan efisien. Para bintang juga memberi tahu jenis ikan apa yang sedang banyak di perairan. Maka moyang kami yang seorang pelaut tidak akan pernah salah membawa peralatan menangkap ikan dan tidak akan pernah keliru untuk menggunakan teknik menangkap ikan yang mereka terapkan.
Leluhur kami yang memelihara raja kaya – ternak berkaki empat – menggunakan bintang gemintang sebagai penanda kapan harus mulai mengawinkan ternak-ternaknya. Seolah bila ternak dikawinkan diluar masa yang sudah ditetapkan maka akan gagal kawin mereka. Gagal mereka untuk bunting. Maka ternak-ternak itu harus menahan syahwat hingga tiba musim untuk dikawinkan.
Para tukang bangunan tidak boleh sembarangan menumpuk batu. Sebab bangunan adalah sebuah sasana berlangsungnya aktivitas ketuhanan dan sosial, maka ia tidak boleh didirikan serta merta. Jika bintang paling terang selepas senja muncul lebih dulu dari bulan dan posisinya terlalu dekat dengan horizon, maka esok pagi mereka akan mulai untuk duduk padhemi, menggali tanah sebagai pondasi bangunan.
Bahkan, seorang pengganguran sekalipun yang kerjanya cuma tidur, ngopi dan menggoda kembang dusun akan menggunakan bintang dalam melancarkankan taktiknya. Saat Lintang Belantik terbit sebelum subuh diakhir Agustus, mereka, pemuda dusun penganggur akan merenggek-renggek pada bapaknya untuk segera dikawinkan. Sebab dalam hitungan mereka, saat tiba puncak musim rendheng – hujan – beberapa bulan lagi keinginan mereka akan dipenuhi karena bapak mereka sedang punya uang.
Maka mengamati bintang bukanlah hal baru bagi nenek moyang kami, juga bagi kami. Sebab bintang lebih dari sekedar benda berkedip-kedip yang menjadi media penyalur hobi. Ia bukan sekedar formasi-formasi kosong yang berubah-ubah posisi dikala malam. Bintang berjalan seiring dengan kehidupan yang kami jalani. Bintang adalah hidup kami sendiri.
***
Setelah Emak memberiku kejutan ulang tahun yang ternyata berupa makan menjelang subuh di warung kesukaanku yang menghadap sawah di sisi timur dusun, aku enggan untuk pulang. Kau lihat, bukan kue ulang tahun yang indah dan megah ‘kan? Tapi kuulangi sekali lagi. Aku senang tidak karuan. Maka tidak akan kuperpanjang cerita tentang hadiah ulang tahun sederhana itu. Lebih menarik jika kuceritakan tentang mereka. Hadiah ulang tahun yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Hadiah ulang tahun yang membuat aku enggan untuk pulang. Hadiah yang tidak perlu aku minta pada Emak sebab mereka selalu menanti dan menungguku disubuh pertama dihari ulang tahunku: Waluku dan…. Kartika.
Tuwowo Gelendang yang pertama kali mengenalkan aku pada mereka. Mereka begitu cantik.
“Kau lihat itu, Le, yang bentuknya seperti bajak itu Waluku. Yang bersinar cerah sebanyak tujuh buah itu Kartika. Beri salam pada mereka,” Tuwowo Gelendang menunjuk-nunjuk bintang gemintang di langit yang membentang di ufuk timur. Sementara Emak masih sibuk dengan pemilik warung.
Kuamati mereka berdua. Waluku yang tidak lain adalah Orion sang pemburu merupakan sebutan kami untuknya. Karena kami hidup di belahan bumi selatan dan masih cukup dekat dengan khatulistiwa, maka pemburu itu terlihat berbaring sejajar dengan horizon. Maka pemburu itu bukanlah pemburu, melainkan terlihat seperti bajak sawah yang terlentang. Bajak yang siap digunakan oleh wanua. Itulah sebabnya kami memanggilnya Waluku, bajak dalam Bahasa Kawi.
“Tiga bintang yang memanjang itu disebut Lintang Belantik. Seperti gagang bajak.” Kuikuti gerakan jari Tuwowo Gelendang menunjuk bintang terang yang berjarak lebar. “Sedangkan tiga yang berdekatan itu leher bajaknya,” yang dimaksud oleh Tuwowo Gelendang adalah deretan sabuk Orion yang berdiri tegak agak miring ke kiri. Aku terpesona dengan penjelasan laki-laki paru baya di sampingku ini. Juga dengan Waluku yang baru kukenal.
Adapun Kartika, ia lebih membuat aku jatuh cinta. Tujuh bintang terang itu berkelip-kelip terang. Seolah pamer dengan bintang-bintang lain. Dominasi mereka tidak tertandingi. Membuat bintang lain ciut nyalinya.
Kudengar baik-baik penjelasan tuwowo. “Kalau pas cerah, jumlah bintangnya ada sembilan,” ucapnya sembari menyemburkan asap rokok yang sengaja dibentuknya menjadi bulat-bulat. Bergelung sekejap lalu buyar bentuknya.
Aku terkesima dengan tujuh bintang itu. Mereka seperti putri-putri cantik yang bersinar diantara dayang-dayangnya. Kartika. Begitulah namanya. Aku tidak peduli dengan keganjilan nama itu. Betapa tidak, kartika jika diartikan adalah bintang. Maka menjadi aneh bila kita memanggilnya Bintang Kartika. Bintang bintang. Tapi aku sudah terlanjur disihir oleh namanya, terlebih pesona mereka.

Share:

MUSIM 1 - AWAL PUNCAK MUSIM PANAS


Tidak ada tanggal pasti untuk menentukan kapan bunga terakhir Pterocarpus indicus yang berjajar di depan sekolah itu akan gugur. Aku tidak pernah menghitungnya. Sebab usiaku terlalu dini untuk mengenal konsep tanggal dan waktu, meskipun aku sadar hal itu ada, namun aku anggap lalu saja.
Tapi, satu hal yang pasti, saat bunga terakhir Pterocarpus indicus itu jatuh ke tanah dan hanya menyisakan ranting-ranting kering beserta biji-biji yang matang, maka esok hari dingin udara pagi hanya bertahan sebentar lalu ia akan menguap bersama sinar matahari yang memancarkan daya terbesarnya. Beranjak siang koefisien radiasi matahari akan semakin besar, membuat suhu udara meningkat. Angin sepoi yang berhembus tidak akan mampu mengusir keringat yang menyembur terus menerus dari balik kulit. Bahkan ketika sore tiba, suasana tetap membara hingga malam benar-benar menyelimuti dusunku. Itulah awal puncak musim panas dimulai.
Tidak ada satu pun orang yang enggan berlama-lama di luar rumah saat siang hari. Bukan karena takut kulit menghitam. Kami, orang Jawa suburban ini, tidak pernah takut dengan sinar matahari. Meski kulit kami harus gosong karenanya. Sebab sejak dulu nenek moyang kami sudah bergumul dengan panasnya sinar matahari yang mereka nikmati di ladang, kebun, dan sawah-sawah yang menghampar di tanah yang subur. Maka kami sudah tuwuk dengannya.
Bahkan, ketika sebagian besar sawah pertanian sudah menjadi pabrik dan jalan aspal yang seringkali merenggut banyak nyawa, kami masih tidak takut dengan sinar matahari. Kami lebih takut kepada mandor yang memegang kuasa di pabrik dan polisi lalu lintas yang berjaga di tepi jalan. Di tangan mandor perut anak-anak kami bergantung dan di tangan polisi uang hasil kerja di pabrik harus lenyap seketika. Maka mandor dan polisi, sejak kemunculannya bersama pabrik-pabrik dan jalanan aspal yang menggusur tanah pertanian kami, adalah Tuhan baru yang harus kami senangkan dan kami puja sedemikian rupa demi keselamatan uang hasil jerih payah kami.
Menjelang maghrib, sehari setelah bunga terakhir Pterocarpus indicus gugur, orang-orang akan berhamburan di teras rumah mereka. Bukan menikmati hangat sinar mentari atau menyeruput secangkir teh hijau layaknya Keluarga Kerajaan Inggris yang hidup di istana megah, melainkan untuk menjemur balita-balita yang rewel tidak mau makan. Dengan menjemur anak-anak di bawah sinar matahari sore yang menyerobot di teras-teras rumah, maka anak-anak itu akan cepat kehausan dan dehidrasi, sehingga mereka jadi lahap makan pisang yang dicampur dengan nasi. Akhirnya, cepat tidurlah mereka di gendongan para emak karena kekenyangan.
Saat adzan maghrib berkumandang, kami, anak-anak yang pencilakan harus dipaksa masuk. Memang semakin malam, dihari pertama puncak musim panas, suhu tinggi akan membuat kami yang kelebihan energi tidak betah jika dipaksa tidur terlalu cepat. Tapi alasan utama saat adzan maghrib berkumandang kami harus masuk rumah adalah untuk menghindari jin bernama Ummu Sibyan yang bisa menyamar menjadi perempuan berbaju putih berambut panjang dengan buah dada yang membesar hingga ke tanah. Konon Ummu Sibyan akan mengambil anak-anak kecil yang masih kelayapan saat surup tiba. Dia akan menyembunyikan anak-anak yang diculiknya di rerimbunan bambu dan baru bisa keluar setelah orang tua si anak menabuh-nabuh peralatan dapur di seantero dusun.
Suara Emak-Emak yang memanggil anaknya seperti burung bondol yang menciap-ciap. Ramai dan melengking-lengking. Kami, yang tidak kenal takut pada manifestasi menyeramkan Ummu Sibyan justru berlari menjauh dan bersembunyi di gupitan antar rumah penduduk yang sempit. Saat Emak kami menemukan anaknya, mereka akan membabat darah dagingnya dengan tangan mereka sendiri. Menimbulkan bekas merah merona yang tidak akan hilang setidaknya hingga dua jam kedepan sekaligus memicu renggekan kami yang tidak kunjung reda hingga kami tertidur.
Setelah kami tertidur, para orang tua lebih memilih untuk gelendangan di teras daripada mengurung diri di dalam rumah. Menikmati semilir angin akan lebih cepat membuat mereka tertidur daripada bergumul di kamar yang panas. Belum lagi jika para suami meminta jatah malam kepada para istri yang kelelahan setelah mengurus rumah seharian. Jika sudah demikian, para istri akan menggerutu karena tidak nyaman dengan suhu yang semakin memanas.
Maka jangan heran, jika di puncak musim panas, rumah-rumah di dusunku – barangkali di dataran Jawa lain pun mengalaminya – jendela tetap terbuka meski malam hari. Sama sekali kami tidak takut pada maling atau pencuri, terlebih di rumahku, jenis rumah orang Jawa suburban yang selalu bercanda dengan kemelaratan. Tidak ada satu pun barang berharga di rumah kami. Maka bisa kau tebak, jika sebuah rumah tertutup rapat dimalam hari saat puncak musim kemarau, itu artinya di rumah itu ada barang berharga.
Pada malam hari awal puncak musim kemarau inilah, biji-biji Pterocarpus indicus berguguran disebabkan kombinasi perbedaan suhu dan angin kencang yang bertiup dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia. Biji kecil yang berselimut selaput tipis melingkar itu berputar dan melayang di udara sebelum jatuh ke tanah. Tidak jarang juga mereka terbawa angin dan jatuh di tempat lain, selaput tipis yang mengelilingi biji membuatnya seperti memiliki sayap yang bisa membawanya kemanapun dia mau. Asal ada angin, melanglangbuanalah mereka sesuka hati.
Ketika pagi menjelang. Kami, anak-anak dusun yang kekurangan permainan modern, akan berlarian dan saling rebut biji-biji gepeng itu dengan serakahnya. Mengumpulkannya di mangkuk plastik yang kami ambil dari dapur Emak kami. Biji-biji itu akan kami gunakan untuk bermain tos-tosan: adu kuat biji dengan saling menabrakkan biji yang dimiliki. Siapa yang bijinya hancur, dialah yang kalah. Dan yang kalah harus membayar dengan biji Pterocarpus indicus yang masih utuh.
Sialnya, meski tanah sudah dipenuhi dengan biji Pterocarpus indicus yang berserakan. Emak  melarangku untuk melakukan kegiatan kesukaanku pagi ini. Emak mendandaniku dengan pakaian yang biasa kupakai dihari raya. Aku mengira jika hari ini adalah hari raya. Sekali lagi, aku belum paham dengan konsep tanggal dan waktu. Namun Emak memberitahuku, jika hari ini aku akan sekolah.
Gusti pengeran… Sekolah?
Bukankah itu yang diperbincangkan Emak dan Eneng semalam, sebelum aku tertidur sambil sesenggukan setelah Emak habis membabatku dengan tangan karena ketahuan bersembunyi di antara gupitan rumah Cak Soleh dan Yu Sariyem saat maghrib tiba.
Bukannya aku sudah bilang kepada mereka kalau aku tidak ingin sekolah.

Share:

[NOVEL - THE SURV ISLAND] CHAPTER 2


Bangunan itu terbagi menjadi tiga ruangan yang berjajar. Ruangan sebelah kanan dan kiri memiliki luas yang tidak lebih dari dua puluh meter persegi. Dari dua ruangan itu terdengar suara mesin berderak. Keras namun tidak memekakan telinga. Sedangkan ruangan tengah dua kali lipat lebih luas dari dua ruang di sebelahnya.
Namun, meskipun demikian ketiganya memiliki kesamaan. Dinding-dindingnya terbuat dari anyaman akar mangrove yang diikat tali dari batang rambat Thalassia hemprichii. Atapnya jadi satu dan terbuat dari pelepah daun kelapa yang dipasang bertumpuk selang seling. Ujung-ujungnya diikat batang rambat Thalassia. Bagian atas atap terpasang semacam lempengan-lempengan logam berwarna kecoklatan yang memantulkan sinar matahari. Melintang berlawanan dengan pelepah daun kelapa yang menjadi bagian dasar atap.
Sudah satu jam Brahma menunggu di ruangan tengah bangunan itu. Ia sudah melihat sekilas remaja berkulit kuning langsat yang ditemukan oleh Hans saat mengambil logistik. Hatinya menggerutu, karena baru pertama kali ini ia meninggalkan aktivitasnya gara-gara tamu tak diundang yang membuat hatinya begitu terganggu. Selain itu, entah mengapa dia sangat terganggu melihat anak tersebut. Mengingatkan pada dirinya dan enam temannya yang lain saat pertama kali dibuang ke pulau yang mereka tinggali saat ini. Terlebih dia berasal dari instalasi S-K.I.T. Cap di lengan kanannya membuktikan hal itu. Sama seperti yang dia dan teman-temannya miliki.
Brahma sudah tidak sabar lagi. Dia berinisiatif kembali ke honai tempat remaja berkulit kuning langsat itu. Semua orang barangkali masih ada di sana, batin Brahma. Dia berjalan ke arah pintu. Melewati meja dan kursi kayu serta dua buah drum yang di atasnya terdapat gelas alumunium. Tangan Brahma hendak membuka pintu saat pintu ruangan terbuka. Hans muncul dengan muka berkeringat.
“Sudah selesai dengan bocah itu?” Brahma bertanya sinis. Jelas dia menunjukkan rasa terganggunya dengan sangat kentara.
“Ada yang salah?” Hans balik bertanya. Memberikan jawaban retoris menjadi pilihan Hans untuk mengetahui alasan Brahma secara diam-diam. Ia mengantungkan belatinya di dinding dan menutup rapat pintu ruangan.
 “Apa kau sudah gila?” air muka Brahma menegang. Dia sedikit menekan suaranya agar tidak terdengar sampai keluar, meskipun sebenarnya Brahma sendiri tahu kalau tempat ini bukan tempat yang tepat untuk membicarakan rahasia atau hal penting lainnya. Sesuatu atau seseorang dapat saja mencuri dengar apa yang dibicarakan dari ruangan sebelah. Mengintip dan mendengar dari celah-celah anyaman dinding. Tapi, tidak pernah ada rahasia di tempat ini. Semua orang tahu tentang semua orang. Sebuah prinsip tidak tertulis yang terbentuk saat mereka membangun tempat ini lima tahun yang lalu.
“Apa maksudmu?” Hans berkata seolah tidak melakukan kesalahan apa pun.
“Kau tahu? Dia dari instalasi S-K.I.T, Hans”
“Apa bedanya dengan kita?” Hans balik bertanya yang justru semakin membuat Brahma naik darah. Hans mengambil kendi yang berada di meja kemudian menenggak air di dalamnya dengan rakus hingga tumpah dari mulutnya.
“Bisa saja dia membawa penyakit yang membahayakan.”
“Kau terlalu paranoid Brahma. Sudahlah, semua akan baik-baik saja. Aku jamin itu,” Hans mencoba menenangkan Brahma. Hans tahu bagaimana dan apa yang ditakutkan oleh temannya itu. Sesuatu hal yang merusak ketenangan dan tatanan yang sudah ada adalah hal yang paling dibenci olehnya. Ketenangan adalah status quo yang harus tetap diperjuangkan. Sebuah prinsip konyol dari Brahma yang selalu ditekankan kepada semua teman-temannya.
“Bagaimana kau tahu semua akan baik-baik saja. Kita sudah hidup aman selama lima tahun Hans. Aku tidak ingin S-K.I.T mengusik kehidupan kita, kecuali … dengan logistik yang selalu … mereka kirim tiap bulan itu,” Brahma mengakhiri kalimatnya dengan mengebrak pintu. Dinding-dinding ruangan bergetar dan merontokkan debu-debu mikroskopis ke lantai.
“Lalu ….” Hans hendak mendebat Brahma tapi kalimatnya terpotong oleh suara pintu yang terbuka secara kasar dan tiba-tiba.
“Teman-teman, kurasa kalian harus segera ke honai,” seorang laki-laki berambut klimis seumuran dengan mereka mendadak masuk dengan napas tersengal.
“Dia sudah bangun?” Tanya Brahma dan Hans hampir bersamaan.
“Kalian akan suka ini,” dia tersenyum misterius.
Brahma dan Hans saling tatap; berusaha menunjukkan perasaan masing-masing sebelum akhirnya keduanya bergegas keluar dari ruangan dan menuju tempat remaja laki-laki berkulit kuning langsat dirawat.
---------------
“Chris, apa yang terjadi?” Tanya Brahma heran karena Christof dan Hazeem terkunci di luar honai.
“Bocah itu kesurupan,” jawab Christof seenaknya.
“Dia hampir memotong lenganku.” Hazeem sedikit meringgis sambil menunjukkan lengan kanannya yang mengeluarkan darah. Kepala botaknya mengeluarkan bulir-bulir kecil keringat. Pun dengan rambut di jenggotnya yang menjadi tempat bergelantungan bagi keringat-keringat yang menetes dari wajahnya.
“Di mana dia?” Hans menyelidik.
“Mengambil alih honaiku,” sahut Hazeem sambil mengelus lukanya.
---------------
Remaja berkulit kuning langsat itu merasakan kepalanya masih berdenyut-denyut. Dia mengingat-ingat peristiwa apa yang sudah menimpanya. Semakin berusaha ia mengingat semakin berdenyut kepalanya dan tidak dapat mengingat apa-apa, kecuali nama, hanya namanya sendiri yang ia ingat.
Ia bersandar pada dinding honai sebelum mencoba berdiri. Hampir saja ia roboh saat bangkit dari duduknya kalau saja tangannya tidak berpegangan pada dinding honai. Tubuhnya terhuyung-huyung dan tangan kanannya masih gemetar memegang belati yang tadi dia ambil serampangan dari orang berwajah arab berkepala botak. Darah yang membasahi ujung belati itu belum juga kering. Egam sangsi darah siapakah itu.
“Hei, biarkan kami masuk,” sebuah suara berat datang dari luar. Menggagetkan dirinya hingga terlonjak.
Dia bingung apa yang harus dilakukannya. Dia mondar-mandir tanpa arah, memikirkan langkah apa yang akan ia ambil. Apakah harus kabur, tapi bagaimana caranya. Ruangan yang ia tempati tidak memiliki lubang satu pun kecuali pintu sumber suara tadi berasal. Atau dia harus menerima nasib, membuka pintu dan menyerahkan nasibnya pada orang-orang diluar.
Ia mengedarkan pandangan sekali lagi dan matanya berhenti pada benda tegak di tengah ruangan honai.
Ya, tiang penyangga itu, pekiknya dalam hati.
Secepat kilat dia berlari ke tiang di tengah ruangan. Memanjatnya dengan susah payah hingga sampai pada bagian kayu horizontal. Dia bersandar di atas kayu itu untuk menyembunyikan diri.
Brak… Pintu honai terbuka. Lima manusia masuk.
“Mengapa jumlah mereka bertambah banyak?” remaja berkulit kuning langsat itu bergumam sendiri.
“Di mana dia Haz? Kukira tadi kau bilang dia mengambil alih honaimu.” Remaja berkulit kuning langsat itu mengamati laki-laki berkulit cokelat dengan raut muka tegas yang baru saja bicara.
Remaja bekulit kuning langsat mengamati manusia-manusia yang ada di bawahnya dengan seksama. Memperlambat intensitas napasnya hingga ia sendiri tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Tangannya bergetar memegang kayu kelapa penahan atap. Lambat laun pegangannya menjadi lengket oleh keringatnya sendiri. Pria berkepala botak sang pemilik ruangan berserapah melihat ruangan miliknya berantakan seperti kandang ayam. Dia sempat menginjak tabung kimia yang sudah pecah di tanah. Membuatnya hancur menjadi butiran kaca yang lebih kecil.
Lima manusia itu menyebar. Menyisir isi ruangan. Melongok kolong ranjang. Membuka lemari. Dan, saat semua berada pada sisi-sisi honai, remaja berkulit kuning langsat itu melompat dari atas dan kabur keluar melalui pintu honai yang terbuka.
“Hei!” teriak Christof memberi tahu teman-temannya.
Brahma dan Hans berlari mengejar. Terlambat. Tidak akan tertangkap bila dikejar. Remaja laki-laki itu cukup lincah meskipun baru sadar dari pingsannya. Brahma mengambil bongkahan kayu yang bersandar di pinggir pintu dan melemparnya ke arah remaja berkulit kuning langsat. Mengenai kakinya hingga keseimbangan tubuhnya terganggu. Dia terhuyung-huyung sebelum akhirnya terjerembab ke tanah.
“Kau terlalu kasar,” ejek Hans sambil berlari ke arah remaja laki-laki itu.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Hans sambil memegang tangannya yang gemetaran.
“Lepaskan aku? Siapa kalian? Aku di mana? Mengapa aku bisa ada di sini?” remaja berkulit kuning langsat itu mencecar banyak pertanyaan. Menggeliat sekuatnya untuk membebaskan diri dan hampir saja menusukkan belati ke mata Hans.
“Hei… Hei… Tenanglah.” Hans merampas pisau dari tangannya. “Aku yang membawamu ke sini. Aku menemukanmu di pantai bersama logistik bulanan kami. Kau tidak sadarkan diri tadi.”
Bocah itu mulai melunak meskipun sebenarnya hatinya berontak, entah kenapa dia merasa bisa sedikit memercayai laki-laki berkulit hitam rambut keriting yang ada di depannya. Hans mulai melonggarkan pegangannya
“Siapa namamu bocah?” tanya Brahma yang berdiri di belakang Hans.
“Egam,” jawabnya ragu dan lemas. “Tempat apa ini?” Egam mengulang kembali pertanyaan, kali ini dengan mata menatap tajam kepada laki-laki dihadapannya.

Share:

[NOVEL - THE SURV ISLAND] CHAPTER 1

Hans Rumansara berangsur-angsur membuka mata.
Ia tidak menyangka akan bangun lebih cepat daripada yang ia perkirakan. Tubuhnya masih capai dan enggan untuk diajak beraktivitas terlalu dini. Terlebih jika mengingat mimpi yang baru saja ia alami.
Sebenarnya ia tidak ingin memikirkan mimpi yang menganggunya itu. Pun demikian mimpi itu melintas begitu saja tanpa permisi di benak Hans. Semuanya terasa sangat nyata dan tidak asing, sebuah ruangan serba putih penuh selang-selang berisi cairan. Teriakan-teriakan yang menahan rasa sakit serta kereta dorong yang membawa manusia. Orang-orang berpakaian putih dengan mengenakan masker hijau sedang menjentik-jentikkan jarum suntik. Hans melihat dirinya tergeletak di atas ranjang dorong. Orang-orang itu bersiap menyuntikkan jarum suntik ke lengannya. Jarum suntik itu memantulkan kilau lembut cahaya.
Kemudian mimpi itu berubah, Hans berada dalam sebuah helikopter bersama enam orang. Tubuhnya sudah lemas tergeletak di sudut ruang helikopter. Napasnya terasa berat. Orang-orang lain di sekitarnya sepertinya mengalami hal yang serupa dengan dirinya. Namun sepertinya mereka tidak bergerak sama sekali. Kemudian suasana mendadak terang dan orang-orang berseragam hitam melemparkan dirinya dari atas helikopter yang mendarat di atas pasir. Matanya silau dengan cahaya yang tiba-tiba. Cahaya tiba-tiba itulah hal terakhir yang Hans lihat sebelum terbangun oleh suara kambing Christof yang mengembik dari luar.
Ia menarik napas panjang dan membuangnya perlahan dari mulut. Hans bangkit dari posisi terlentang untuk duduk di tepian ranjang kayu pohon kelapanya; mengamati ruangan disekilingnya. Ia masih berada di tempat yang sama, honai berjari-jari tiga meter miliknya itu terbuat dari kayu Rhizopora – sejenis mangrove – yang dipotong dengan kasar, beratap daun kelapa kering dan di tengah ruangan berdiri tiang kayu sebagai penyangga yang juga dari batang pohon kelapa.
Gerabah dari tanah liat, logam dan kayu memenuhi ruang di sekeliling honai. Berserakan. Dinding kayu dipenuhi dengan senjata-senjata yang nampaknya beberapa dibuat sendiri dengan bahan-bahan seadanya. Busur dan anak panah, kapak, belati, tombak, G2 Combat tua berwarna hitam yang gagangnya mengelupas, Shotgun Profesional Magnum dengan laras yang lebih pendek karena patah dan P2-V4 yang mungkin harus sudah dimuseumkan.
Hans mendengus keras. Mencoba mengumpulkan semangat dan kesegarannya. Dia mengelus otot bisep kanannya dan mengamati lekat-lekat rangkaian huruf angka yang terpatri di kulitnya. Lima tahun dia berada di tempat pembuangan dan deretan huruf angka itu sudah ia hapal di luar kepala. Khusus pagi ini ia tidak ingin diganggu oleh deretan huruf angka yang selalu membuat dirinya muak itu. Andai ia dapat menghilangkan tanda itu sejak dulu maka ia akan memilih menghilangkannya daripada harus memeliharanya di kulit, terutama ingatannya.
Dia masih ingat saat pertama kali dibuang bersama teman-temannya. Dalam kondisi yang tidak berdaya dan rasa sakit akibat suntikan zat kimia yang bercampur dalam getah bening mereka saat percobaan, semua masih terasa di sekujur tubuh. Dengan sisa tenaga yang mereka miliki akhirnya sampailah mereka di jantung Pulau Bras yang saat ini mereka tinggali. Membangun rumah dan merangkai kehidupan baru.
Hans bangkit dari ranjang setelah merasa bahwa seluruh nyawanya telah kembali. Merapikan diri dan menyiapkan perlengkapan yang perlu dia bawa untuk melakukan hal yang menjadi alasan mengapa dia bangun lebih awal hari ini. Bunyi kriek keluar dari pintu honai yang dibukanya. Seketika udara pagi bercampur aroma hujan sisa semalam menyeruak ke dalam honai dan ruang napas  Hans. Segar.
Honai lainnya masih tertutup. Mungkin aku bangun terlalu pagi, pikir Hans dalam hati. Tapi, setelah sepuluh langkah sebuah suara datang dari arah kandang ternak. “Terlalu cepat bangun, Hans?” Christof, laki-laki berambut kriwil itu mengejek.
“Kukira kau masih memimpikan Mapos-Mapos di pulau sebelah, Chris,” ledek Hans.
 “Mungkin kau harus menemaniku saat hal itu terjadi,” Christof membalas Hans sambil menyeringai.
Hans hanya tersenyum mendengar ejekan Christof. Senyum mengejek dan sinis. Dia berjalan cepat menuju jeep yang berada di dekat gerbang masuk kamp. Jeep tua itu dia temukan bersama Brahma di pulau selatan – yang baru-baru ini mereka ketahui bahwa pulau itu bernama Panjang. Jeep itu sangat berbeda. Rodanya jauh lebih besar daripada jeep pada umumnya. Lebih mirip roda truk pengangkut pasir di area pertambangan. Karena itulah badan jeep nampak seperti kotak kecil yang terjepit di antara empat buah roda berukuran besar. Badan jeep ditinggikan sehingga ada cukup ruang untuk menumpuk tiga orang di bawahnya. Bagian belakang dipasang keranjang besar yang terbuat dari kayu bakau.
Beberapa kali Hans memutar kunci jeep, tapi baru usaha yang kelimalah jeep itu mau menyala. Deru suaranya memekakan telinga. Hans sengaja menginjak gas mobil tua itu keras-keras untuk membangunkan teman-temannya yang masih meringkuk di dalam honai. Sebelum akhirnya tancap gas menuju pantai yang berjarak lima belas menit dari jantung pulau.
Christof melihat jeep itu pergi hingga akhirnya jeep ditelan oleh semak belukar dan tidak terdengar lagi suara deru mesinnya.
“Sedang gila dia?” tanya Brahma yang tiba-tiba muncul dengan membawa tombak di tangan dan tas lusuh yang terselempang di pundaknya.
Nggak tahu, mungkin sedang PMS,” jawab Christof asal.
---------------
Matahari harusnya sudah tinggi sepenggalah, tapi awan mendung menutupi hampir seluruh horizon di atas Samudera Pasifik. Hanya berkas-berkas tipis cahaya kuning kemerahan yang menyeruak dari balik awan. Angin laut yang berhembus menuju daratan mengoyangkan daun-daun kelapa yang berjajar di pinggir pantai, sedangkan daun-daun Rhizopora yang lebih kokoh tidak bergeming sama sekali. Debu pasir dan rumput-rumput kering juga tak luput dari aliran udara itu; berlarian seperti serangga hutan.
Entah mengapa hari ini suasana suram dan memaksa Hans untuk mengingat apa yang terjadi dengan dirinya lima tahun lalu. Mimpi yang nyata dan suasana mendung yang kelam. Ah! Aku terlalu melankolis, rutuk Hans dalam  hati. Tapi Hans memang tidak bisa memungkirinya. Perlahan-lahan ingatan-ingatan kecilnya menyeruak. Seperti cacing yang kena hujan berhari-hari. Muncul dengan menjijikkan dari dalam tanah. Awalnya yang muncul hanyalah hal kecil. Bagaimana ia menjalani masa yang indah bersama teman-teman sekolahnya. Menikmati serunya bermain di padang yang luas dan beradu panjat pohon dengan teman-temannya.
Lalu memori lain muncul, saat ia sedang belajar sistem pencernaan manusia di kelas lima. Tiba-tiba segerombolan manusia berseragam hitam masuk kelas. Membawa dirinya dan beberapa orang temannya. Sampai sekarang ia tidak tahu bagaimana nasib teman-temannya itu. Mungkin bernasib sama dengan dirinya. Diasingkan sebagai objek gagal  percobaan. Atau justru lebih parah, mati misalnya. Kemudian ingatannya berpindah lagi. Ia berada di dalam ruang yang bersih. Nampak seperti kelas dan kemudian beberapa anak masuk. Itu awal dimana dia mengenal teman-temannya di tempat pembuangan saat ini. Ia sedikit ketakutan dan saat ada anak perempuan yang menepuk punggungnya memorinya secara acak melompat pada ingatan lain.
Kali ini ia teringat saat S-K.I.T memanggil dan memintanya bekerja di Instalasi S-K.I.T. Itu saat ia berusia 12 tahun. Hans menyeringai ingat hal itu. Anak kecil bekerja pada institusi bawah tanah milik pemerintah. Itu lebih dari sekedar konyol. Lalu tiba-tiba saja ingatannya berhenti pada saat dirinya dilempar secara kasar ke dalam ruang belakang helikopter yang. Ia berharap mati saja saat itu. Disanalah ingatan Hans kemudian berhenti. Benar-benar behenti dan hanya tertuju pada warna abu-abu di angkasa.
Hans memandang ke langit. Cuaca sialan, batinnya dalam hati. Setelah itu ia berhenti untuk kembali pada masa lalunya. Ia memutar audio jeep yang suaranya sudah tidak jernih lagi. Mulutnya bergumam mendengangkan lagu yang sama. Tidak begitu jelas juga. Tapi Hans merasa lebih senang dan lega. Lega bisa lepas dari ingatan masa lalunya yang secara ajaib muncul kembali pagi ini.
Ban jeep yang berat meninggalkan jejak yang dalam di pasir. Sesekali laju jeep tertahan karena terjerembab terlalu dalam dan pasir terburai ke udara saat ban keluar dari kubangan dengan susah payah. Semakin dekat dengan laut, indera penciuman Hans semakin peka dengan aroma Thalassia hemprichii – ganggang laut berdaun hijau panjang dengan batang merambat – yang basah dan bercampur dengan aroma garam dari samudera.
Diujung perjalanan, di bibir pantai yang tidak basah oleh air laut, bertumpuk kotak-kotak kayu dan karung-karung goni dengan warna yang berbeda-beda. Dia menghentikan jeepnya tepat di sebelah tumpukan kotak kayu dan karung goni tersebut. Tulisan S-K.I.T menghiasi setiap kotak kayu dan karung goni di depannya.
Hans tersenyum getir. Logistik dalam kotak kayu dan karung goni itu seperti penghinaan. Bagaimana mungkin ia menjalani hidup penuh kontradiksi semacam ini. Menjadi bahan percobaan S-K.I.T yang gagal kemudian dibuang. Sialnya sampai saat ini ia masih harus dihidupi oleh orang yang membuang dirinya. Mengapa mereka tidak membiarkan dirinya beserta teman-temannya mati saja. Hans dan teman-temannya bisa saja membiarkan logistik itu membusuk. Tetapi masih berlakukah ego semacam itu saat insting menuntut untuk bertahan hidup?
Dia turun tanpa membuka pintu jeep melainkan melompatinya. Mengambil satu-satu karung goni dan kotak kayu yang beratnya bisa jadi setengah hingga dua kali lipat dari berat dirinya. Hingga saat dia mengangkat kotak kayu terakhir dan meletakkannya di belakang jeep, sesosok tubuh remaja berkulit kuning langsat jatuh di kaki Hans tanpa daya.
Share:

[NOVEL - THE SKY OF LIMA] EPISODE 2 : MAMA

Helmku sudah basah tidak hanya oleh air hujan, tapi juga oleh air mataku. Sial sekali, selama ini aku selalu mengejek siapapun yang menangis dalam hal cinta. Tapi kini aku harus menjilat sendiri air liurku itu. Memang sakit.
Aku tersenyum getir di balik helm yang terasa dingin. Kususuri jalanan menuju rumah dengan amarah. Dalam kondisi hujan seperti ini jalanan jadi semakin sepi dan aku bisa menumpahkan amarahku dengan memacu motor dengan kecepatan tinggi.
Kumasuki halaman rumah dengan memainkan gas motor. Lalu kemudian sebuah teriakan membuat amarahku luntur. Teriakan itu datang dari dalam rumah. Teriakan yang selalu aku dengar dan mewarnai hari-hariku sejak kecil. Teriakan mama.
Aku bergegas memasuki rumah dan kudapati mama yang sudah tertunduk di sebelah meja makan. Pecahan-pecahan gelas dan piring berserakan hampir di seluruh permukaan meja dan lantai. Kursi-kursi berjatuhan.
“Ma... Mama...” Aku berteriak dan menghampiri mama. Ternyata di depannya sudah ada Alsen yang berdiri dengan ikat pinggang menggulung di tangannya. Bersiap mengeksekusi dan memanfaatkan ikat pinggang itu sebagai cambuk.
“Apa yang kamu lakukan?” Sebenarnya terlalu bodoh menanyakan hal itu. Jelas dia sedang menyiksa mama. Namun sebenarnya tujuan utamaku bukan bertanya, melainkan menggertak agar dia berhenti menyiksa mama.
“Ini juga, anak tidak tahu diuntung. Ini semua karena kamu gagal mendidiknya Bulan. Dasar wanita murahan,” Alsen mengucapkan kalimatnya dengan lancar dan tanpa perasaan berdosa.
Hal itu membuatku meradang. Seketika aku berdiri dan menerjang tubuhnya yang besar. Aku tidak takut sama sekali karena tubuh kami sama-sama besar. Jadi kalau tidak aku yang roboh pasti dia. Tapi nampaknya aku kalah pengalaman karena sebagai polisi intelejen dia terbiasa duel semacam ini. Didorongnya tubuhku hingga jatuh dan menabrak kulkas. Mama menjerit dan hendak menolongku, tapi tangan besar Alsen menghalanginya. Kini tubuhku yang menjadi sasaran cambuk ikat pinggang di tangan Alsen. Tapi tidak masalah, setidaknya mama bisa terhindar dari ikat pinggang itu.
Mama sekali lagi berusaha melindungiku. Ia mencoba menghadang cambuk itu dengan punggungnya. Sebelum sempat menyentuh punggungnya Alsen menyingkirkan mama. Hingga akhirnya laki-laki brengsek itu merasa puas dia meninggalkan kami yang sudah penuh luka.
“Ajari anakmu baik-baik,” Alsen meninggalkan kami. Mama hanya bisa menangis. Aku bangkit perlahan dan mendekati mama. Air matanya tidak terbendung, perlahan aku memeluknya dan membisikkan kalimat yang selalu aku katakan saat rutinitas seperti ini terjadi. “Harusnya mama menceraikan dia sejak dulu.”
***
Aku sedang memindahkan data-data dari kamera ke dalam laptopku saat mama masuk ke dalam kamar. Di tangannya terdapat kotak obat dan sebaskom air dan handuk. “Sini biar obati luka kamu,” suaranya bergetar dan tampak ia berusaha menguatkan dirinya.
“Ah mama, taruh sajalah di meja. Biar nanti aku bersihkan sendiri.” Aku menghentikan pekerjaanku dan mendekat ke arahnya. “Sini biar aku bersihkan luka mama,” aku mengambil handuk dari tangannya. Setelah mencelupkan handuk ke air hangat dan memerasnya, kubersihkan pelipis dan pipi mama yang bengkak. Ada bagian pelipis yang tampak membiru.
“Kita harus memberinya pelajaran, Ma. Mama bisa melaporkannya bila tak mau menceraikannya. Kalau mama nggak mau biar aku saja yang melakukannya,” Aku mencerocos menasehati mama sambil terus membersihkan lukanya.
“Jangan seperti itu, Ga. Kasihan dia. Sekarang coba kamu pikir kalau mama memperkarakan atau menceraikannya. Karirnya akan hancur,” mama masih saja membelanya setelah semua ini terjadi.
“Lalu mama tidak kasihan dengan diri mama sendiri. Denganku. Nenek saja, yang masih orang tua kandung laki-laki sialan itu memberikan ijin kepada Mama untuk menceraikannya,” aku sedikit jengkel dengan ucapan Mama. Jelas aku tidak bisa mengatakannya bodoh, tidak mungkin. Tapi jelas Mama sudah dibutakan oleh cintanya.
Setelah tampak bersih aku mengambil kapas dan menuangkan obat merah di atasnya. Pelan-pelan kutempelkan kapas itu ke luka Mama. Ia sedikit mengernyit menahan rasa sakit. “Kita bisa memulai hidup baru tanpa dia, Ma. Aku sudah punya pekerjaan sekarang, setidaknya Harian Bagaskara mau memperpanjang kontraku,” Aku terus berusaha membujuk Mama agar mau bercerai dengan suaminya itu.
Mama hanya diam. Saat aku mulai membersihkan pipinya dia menyela dan memegang tanganku. “Braga, dengarkan Mama. Mama harap ini terakhir kalinya Mama berkata seperti ini padamu. Ingat, bagaimanapun juga dia tetap Papa kamu. Tanpa dia kamu tidak akan lahir. Maafkanlah segala perbuatannya. Percayalah, suatu saat dia pasti akan berubah. Dia hanya butuh waktu,” kini giliran Mama yang menceramahiku.
“Tapi sampai kapan, Ma?” Aku mencoba mendebat pernyataannya. Tapi yang kudapatkan hanya diam. Kini giliran Mama yang membersihkan luka-lukaku. Ia memintaku membuka kaos. Dan entah mengapa aku mengikuti perintahnya. Pelan-pelan Mama mulai membersihkan luka di pundak, leher, wajah, dada dan punggungku. Rasa perih menjalar ke seluruh tubuh. “Pelan-pelan dong, Ma,” aku memanja.
“Ah, kamu seperti anak kecil saja,” Mama semakin menekan handuknya tepat dilukaku. Aku mengeliat kesakitan sambil tertawa.
Tiba-tiba hapeku berbunyi. Kinan menelpon. Mama sempat melirik siapa yang menelpon anaknya malam-malam begini. Alih-alih menjawabnya justru telpon Kinan kumatikan.
“Kenapa nggak diangkat?” Mama mulai kepo.
Nggak papa,” jawabku sewot.
“Udah lama ya Kinan nggak main ke sini. Sekali-sekali kamu ajak lah ke sini. Dia jualan pecel ya, kok pecel buatannya bisa enak begitu,” Mama mulai melawak.
“Nggak usah bahas dia lah, Ma, aku lagi males ngomongin dia,” Aku mulai terganggu.
“Kamu bertengkar ya sama dia?” Kepo mama mulai memuncak.
Aku tidak mungkin bercerita tentang apa yang aku alami sebelum pulang. Aku tidak tega untuk bercerita jika mengingat apa yang dialami oleh Mama beberapa jam kebelakang. Maka aku lebih memilih diam dan memainkan hape. Berpura-pura mengecek email dan WA.
“Ga...” tiba-tiba mama memanggilku dengan nada serius.
“Iya, Ma,” aku menelan ludah. Bersiap dengan penyataan, pertanyaan ataupun bentuk wejangan serius yang mungkin keluar dari mulut Mama tentang hubunganku dengan Kinan.
“Kamu belum mandi ya. Baumu lebus banget.”
***
Ini adalah mandi paling menyiksa yang pernah aku lakukan. Aku mengeliat-geliat saat shower mengucurkan airnya ke seluruh tubuhku. ‘Lukisan’ karya Alsen meninggalkan guratan yang mengangga merah. Obat merah yang dilaburkan mama semalam ternyata tidak cukup ampuh. Beberapa luka masih mengucurkan darah merah yang membuat lantai kamar mandi berwarna kemerahan.
Dasar Papa sialan, aku merutukinya dalam hati sambil menahan perih.
Setelah selesai mandi aku tidak langsung memakai baju. Aku mengolesi luka-lukaku dengan salep yang semalam dikasih Mama. Ditengah-tengah aktivitas itu pintu kamarku diketuk seseorang dari luar.
“Ga... Braga... Buruan sarapan nih,” suara nenek menyahut dari luar.
Semalam, setelah Mama selesai mengobati lukaku, aku sengaja mengirim pesan kepada Nenek. Hanya Nenek yang bisa melindungi Mama dari Alsen. Dan tidak kusangka Nenek sudah datang sepagi ini.
“Iya Nek,” aku menyahut singkat agar beliau tahu kalau aku sudah bangun.
Aku bergegas memakai baju dan menyiapkan perlatan fotografiku. Setelah siap aku keluar dan sudah kudapati Mama dan Nenek di meja makan. Tidak lupa pula ada Alsen di sana. Mama langsung mengambilkan nasi goreng dan telur mata sapi untukku.
“Biarkan dia ambil makanannya sendiri,” Alsen mengingatkan Mama.
Mama langsung meletakkan piring yang akan diberikan padaku. Belum sempat Mama meletakkannya aku mengambil piring itu dan tersenyum manis padanya. Kuambil makananku sendiri dan mulai menikmatinya dengan hati terpaksa.
“Ma, aku berangkat dulu. Ada dinas luar kota hari ini,” Alsen berpamitan kepada Nenek setelah selesai minum dan mengelap mulutnya dengan tisu.
“Dinas apa hari Minggu seperti ini,” aku menyindir sembari terus makan tanpa melihat wajahnya.
“Braga, jaga omongan kamu,” Mama sempat mengingatkanku.
“Palingan juga ke rumah istri muda dan main sama anak-anaknya,” aku tidak mau kalah dan tetap menyindirnya sambil terus menikmati nasi gorengku.
“Ngomong apa kamu anak kecil,” Alsen mulai meradang. Aku merasa menang kali ini. Alsen tidak mungkin memukulku apalagi memukul Mama. Keberadaan Nenek membuatku dan Mama aman, setidaknya untuk sementara. Tapi itu cukuplah untuk sedikit menentangnya tanpa harus menerima siksaan.
“Sudah... Sudah... Alsen, cepat kamu berangkat. Braga, habiskan makananmu. Kamu harus memberi materi fotografikan hari ini,” Nenek berusaha melerai pertengkaran yang belum kami mulai. Dan usaha Nenek berhasil. Karena setelah itu Alsen berangkat keluar dan aku meneruskan makanku. Beberapa menit setelahnya aku meninggalkan meja makan dan menuju studio tempatku menjadi tutor fotografi part time.
***
Aku baru saja selesai dengan seorang anak yang bertanya tentang cara menciptakan efek bokeh yang bagus saat hapeku berbunyi. Intro lagu Beliver dari Gogo Dolls yang kujadikan nada dering mengalun pelan. Aku segera mengangkatnya karena telepon itu dari Nenek.
“Ga, kamu cepetan pulang!” Suara nenek terdengar kalut di seberang sana.
“Ada apa nek?” aku balik bertanya dan sekarang pikiranku mulai tidak enak.
Alih-alih menjawab nenek tetap memerintahku untuk pulang dan menutup teleponnya dengan segera.
Tanpa berpikir panjang aku bergegas pulang dan memacu motor dengan cepat. Saat tiba di rumah Nenek sudah menungguku di depan rumah. Wajahnya penuh keringat dan terlihat panik.
“Ada apa, Nek?” aku bertanya sembari mencium tangannya.
“Mama kamu,” wajah Nenek semakin tidak karuan.
“Kenapa dengan Mama?” aku masih memburu Nenek dengan pertanyaan meskipun aku sendiri tetap berjalan menuju kamar Mama.
Namun sebelum nenek menjawab pengelihatan di depanku menjawab semuanya. Tubuh Mama terkulai tak berdaya di atas ranjangnya. Tangan kirinya mengeluarkan darah yang membasahi seprei. Aku langsung mendekat ke arah Mama dan mencoba menghentikan pendarahan dengan mengikat lengan atasnya menggunakan tali tas kameraku.
“Mama,” aku setengah menjerit. “Apa yang Mama pikirkan hah,” air mataku mulai mengucur jatuh. “Nek, cepat panggil ambulan,” aku meminta Nenek untuk menelpon ambulan.
“Sudah, tapi dari tadi ambulan belum juga datang,” Nenek semakin kalut dan sekarang duduk bersimpuh di sebelah Mama.
“Udah, nggak papa,” suara Mama terdengar sangat kecil. Ah, Mama. Bisa-bisanya dia berkata ‘udah, nggak papa’ disaat seperti ini.
“Ma... Kenapa Mama tega ngelakuin ini. Gimana dengan Braga. Gimana dengan Nenek. Kenapa Mama mau ninggalin kita. Aku mengangkat kepala Mama ke atas pangkuanku. Aku mulai menciumi keningnya yang terasa dingin.
“Ma...,” Mama memanggil Nenek. “Tolong jaga Braga ya, maafin aku kalau nggak bisa jadi menantu yang baik buat Mama,” Mama mulai meneteskan air mata.
“Untuk kamu Braga, maafkanlah Papamu. Dia orang yang baik,” kalimat Mama terputus. Napasnya mulai pendek dan tanpa menunggu lama, beberapa detik kemudian suara Mama menghilang.
Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Yang aku lakukan hanya menangis dan merangkul tubuh Mama yang sudah tidak bernapas. Nenek menangis tersedu dan mencoba menenangkan aku. Bukannya malah tenang, kemarahanku keluar. Semua ini gara-gara Alsen sialan.
***
Pemakaman memang bukan tempat yang layak untuk dijadikan tempat bermain. Namun seumpama hal itu boleh, maka aku akan rela memindah rumahku di sebelah makam di depanku sekarang. Makam ini tidak jauh berbeda dengan yang lain. Batu andesit berwarna kelabu dengan tulisan yang setiap kali kubaca terasa menyayat hati: Bulan Kirana Adelina. Makam Mama.
Hujan semakin deras dan itu tidak membuatku ingin beranjak. Orang terakhir yang meninggalkanku sendiri adalah Nenek. Ia sempat berujar bahwa Mama tidak akan senang jika aku bersedih terlalu lama sebelum meninggalkanku. Ucapan Nenek ada benarnya. Mama adalah satu-satunya orang yang ketika semua dalam kondisi bersedih maka dia akan tersenyum. Satu-satunya orang bisa melihat hal-hal menyenangkan saat kondisi terburuk menerpa. Tapi mengapa Mama melakukan ini? Bunuh diri. Meninggalkan aku sendiri bersama Alsen si Papa tak layak pakai itu.
“Kenapa kamu masih di sini?” Alsen tiba-tiba datang dan memayungiku.
“Masih ingat kami berdua?” Kurasa ucapanku terlalu sarkastis, tapi aku bahagia saat kalimat itu terlontar.
“Dengar, Papa tidak ingin membahas hal itu di sini. Jaga kehormatan Mamamu di tempat peristirahatannya.”
Ucapan Alsen benar-benar membuat telingaku geli. Kehormatan? Dia bilang kehormatan. “Bukannya kamu yang sudah membuat Mama menjadi perempuan tidak terhormat?” Aku mengucapkan kalimat tersebut dengan air mata yang tersembunyi dibalik hujan. Kutinggalkan pemakaman dan Alsen sendirian. Pemakaman yang tadinya tenang mendadak terasa panas di tengah hujan. Sama seperti rumah. Awalnya kami hidup tenang, lalu berubah seperti neraka di tengah kedamaian.
Aku menyusuri pemakaman yang dipenuhi rumput-rumput hijau yang tumbuh subur. Semua ini menyadarkanku bahwa hujan tidak akan pernah menjamin kebahagiaan apapun kendati ia memberikan rasa sejuk. Karena sejatinya hujan adalah malapetaka itu sendiri.
It’s time to say good bye to the rain.
Share:

Search This Blog

Featured Post

[NOVEL - THE SURV ISLANDS] CHAPTER 3

Hazeem membetulkan posisi topinya yang miring diterpa angin. Topi daun kelapa berwarna kecokelatan itu tampak menarik di mata Egam. Berbe...