Hazeem membetulkan
posisi topinya yang miring diterpa angin. Topi daun kelapa berwarna kecokelatan
itu tampak menarik di mata Egam. Berbentuk setengah lingkaran tanpa rumbai.
Anyamannya tampak serabutan, tapi sangat berguna untuk menutupi kepala botak
Hazeem.
Di kepala Hazeem
hampir tidak ada rambut sehelai pun. Terkecuali bila jenggot, alis dan bulu
mata dihitung. Egam sebenarnya ingin menahan tawa, mungkin rambut dikepalanya
migrasi ke jenggot. Tapi, ia mengurungkan niatnya tertawa bila teringat kamar
Hazeem yang dibuatnya berantakan dan lengannya yang berdarah karena ulahnya.
Lengan itu sudah dibebat dengan sejenis kulit kayu yang katanya mampu untuk
menyembuhkan berbagai luka.
“Hazeem,” suara Egam tercekat. Ia menelan ludah dan merasa takut untuk
memulai pembicaraan.
“Ya bocah,” balas Hazeem.
“Maaf tentang lenganmu ...” berhenti sejenak untuk mengernyit, “... dan,
kamarmu.”
“Ouw, nggak usah kau pedulikan hal itu. Aku
bisa merapikannya nanti.”
“Tapi….”
“Lupakan saja.
Lihat!” Hazeem menunjuk gundukan berwarna hijau di depan mereka. “Itu Pulau Mapia atau Pegun. Tapi, kita di sini
memanggilnya Pulau Panjang,” Hazeem menelan ludahnya. Ia merasa haus dan
menghentikan ocehannya sejenak. Mengambil botol di sela-sela jok jet boat dan minum dari dalamnya. “Itu
tempat Mapos tinggal.”
Egam memandangnya lekat-lekat. Ada aura menyeramkan saat Egam
mengamatinya. Meskipun begitu pulai itu tampak begitu asri dan hijau dari
kejauhan.
“Mapos?” Egam
memandang wajah Hazeem penuh tanya.
“Mapos sama kayak kita. Objek gagal percobaan yang
dibuang S-K.I.T ke sini. Cuman mereka itu sedikit beda dengan kita. Mereka
mengalami degenarasi sel-sel otak, tapi sel-sel tubuh lainnya berkembang secara
liar, seperti kanker. Merubah mereka menjadi bentuk aneh. Cakar panjang. Dan,
aku yakin kau nggak bakalan mau
kencan bareng mereka.”
Egam mendengar
sambil membayangkan bagaimana wujud Mapos itu. Menerjemahkan kalimat Hazeem
terlalu sulit baginya; degenerasi sel-sel otak. Belum lagi tentang S-K.I.T dan
objek percobaan gagal yang membuat kepalanya berpikir keras. Semuanya terasa
asing dan membuatnya berlalu begitu saja.
Hazeem paham bahwa
bocah di sampingnya itu masih menerka-nerka apa yang sedang terjadi.
“Zombie. Kau tahu? Mereka jadi zombie, bocah. Ah,
nggak perlu kau pikir berlebihan.
Yang penting jangan sekali-kali pergi ke pulau itu sendiri. Jika kau patuhi
semuanya, kau akan hidup damai di sini.”
Egam bergidik
mendengar kata zombie yang keluar dari mulut Hazeem. Bulu tengkuknya
berdiri-diri membayangkan hal itu. Tapi, dia heran, mengapa laki-laki berwajah
arab di sebelahnya ini bisa begitu enteng menjadikannya sebagai bahan
pembicaraan, bahkan terdengar seperti lelucon.
“Tapi mengapa kita
tidak berubah seperti mereka?” Egam heran merasakan paradoks tersebut. Tapi,
Hazeem hanya mengangkat bahu dan alisnya. Membuat Egam terdiam kembali.
Dalam sisa
perjalanan menuju Pulau Panjang Hazeem menjelaskan semua tentang Kepulauan
Mapia dan mengapa mereka bertujuh bisa dibuang ke tempat ini. Mereka bertujuh
awalnya adalah staf pengembang virus di instalasi S-K.I.T, lembaga pemerintah
yang bergerak secara sembunyi-sembunyi untuk mengembangkan virus selama perang
biologi berlangsung. Mereka melakukan pemberontakan dengan merusak instalasi S-K.I.T
Jakarta dan membocorkan seluruh lokasi instalasi kepada pemberontak yang
menentang perang biologi dan pemerintah. Sayangnya mereka gagal melarikan diri dan menjadikan
mereka sebagai kelinci percobaan. S-K.I.T menganggap mereka bertujuh
menunjukkan perkembangan yang dapat membahayakan subjek penelitian lain
sehingga terpaksa harus dibuang ke Kepulauan Mapia. Tempat karantina bagi objek
gagal penelitian S-K.I.T. Hazeem juga bercerita bahwa dirinya dan
teman-temannya dibuang ke Pulau Bras saat berumur lima belas tahun.
Sama seperti usiaku saat ini, pikir Egam.
“Kami menghianati mereka. Menurutmu, apa kesalahanmu hingga dibuang ke
sini?” Hazeem bertanya tiba-tiba.
Egam tidak siap dengan pertanyaan itu, lagi pula tidak ada ingatan tentang
itu, untuk mengalihkan jawaban atas pertanyaan itu Egam justru bertanya balik
yang membuat Hazeem diam cukup lama sebelum menjawabnya dengan mantap.
“Bagaimana kalian bisa bekerja pada S-K.I.T di usia semuda itu?”
“Orang-orang tertentu punya kelebihan daripada yang lain bocah,” Hazeem
menjawab dengan diplomatis yang justru membuat Egam semakin mengganjal. “Kau
tahu, di kepulauan ini ada tiga pulau utama. Sebenarnya ada dua pulau kecil
lainnya, Bras Kecil dan Fanildo Kecil. Fanildo Kecil hanya pulau karang di sisi
utara Pulau Fanildo. Itu kearah barat kalau dari pulau yang kita tinggali.
Tapi, kita nggak akan ke sana, hari
ini kita sibuk sekali, lagi pula nggak
ada apa-apa di sana. Kalau Bras Kecil ada di sisi timur laut Pulau Bras yang
kita tinggali. Dan, saat cuaca cerah kau bisa berenang di laguna, di sisi kanan kita itu,” Hazeem menunjuk laguna yang
berwarna biru tua. Bagi Egam kepulauan ini seperti atol dengan laguna di
tengahnya. “Oh ya, hampir lupa. Kalau malam jangan keluar pulau.”
“Ken…”
“Mapos hanya takut dengan cahaya matahari. Kulit mereka terbakar jika
kena cahaya matahari,” Hazeem memotong omongan Egam.
“Jadi?” Egam merasa bingung dengan pernyataan Hazeem. Dia terlalu
memutarkan kata-kata. Membuat Egam berpikir keras untuk menafsirkannya
“Oh, ayolah.”
Egam menelan ludah. “Jadi Mapos-Mapos itu akan datang ke pulau kita saat
malam hari.”
Hazeem melihat Egam dengan tatapan geli. Jelas Egam merasa ketakutan.
Dia jadi sedikit menyesal mengatakan hal itu. “Tenang
bocah. Nanti Hans bakal tunjukkin sesuatu ke kamu.”
“Apa? Nanti?”
“Ya” Hazeem
mengangguk penuh semangat dan senyum geli. “OK, kita sampai,” Hazeem melompati
pintu jeep. “Ayo bocah.”
No comments:
Post a Comment