Tempat Kata-Kata Bermuara

[NOVEL - THE SURV ISLANDS] CHAPTER 3

Hazeem membetulkan posisi topinya yang miring diterpa angin. Topi daun kelapa berwarna kecokelatan itu tampak menarik di mata Egam. Berbentuk setengah lingkaran tanpa rumbai. Anyamannya tampak serabutan, tapi sangat berguna untuk menutupi kepala botak Hazeem.
Di kepala Hazeem hampir tidak ada rambut sehelai pun. Terkecuali bila jenggot, alis dan bulu mata dihitung. Egam sebenarnya ingin menahan tawa, mungkin rambut dikepalanya migrasi ke jenggot. Tapi, ia mengurungkan niatnya tertawa bila teringat kamar Hazeem yang dibuatnya berantakan dan lengannya yang berdarah karena ulahnya. Lengan itu sudah dibebat dengan sejenis kulit kayu yang katanya mampu untuk menyembuhkan berbagai luka.
“Hazeem,” suara Egam tercekat. Ia menelan ludah dan merasa takut untuk memulai pembicaraan.
“Ya bocah,” balas Hazeem.
“Maaf tentang lenganmu ...” berhenti sejenak untuk mengernyit, “... dan, kamarmu.”
“Ouw, nggak usah kau pedulikan hal itu. Aku bisa merapikannya nanti.”
“Tapi….”
“Lupakan saja. Lihat!” Hazeem menunjuk gundukan berwarna hijau di depan mereka. “Itu Pulau Mapia atau Pegun. Tapi, kita di sini memanggilnya Pulau Panjang,” Hazeem menelan ludahnya. Ia merasa haus dan menghentikan ocehannya sejenak. Mengambil botol di sela-sela jok jet boat dan minum dari dalamnya. “Itu tempat Mapos tinggal.”
Egam memandangnya lekat-lekat. Ada aura menyeramkan saat Egam mengamatinya. Meskipun begitu pulai itu tampak begitu asri dan hijau dari kejauhan.
“Mapos?” Egam memandang wajah Hazeem penuh tanya.
“Mapos sama kayak kita. Objek gagal percobaan yang dibuang S-K.I.T ke sini. Cuman mereka itu sedikit beda dengan kita. Mereka mengalami degenarasi sel-sel otak, tapi sel-sel tubuh lainnya berkembang secara liar, seperti kanker. Merubah mereka menjadi bentuk aneh. Cakar panjang. Dan, aku yakin kau nggak bakalan mau kencan bareng mereka.”
Egam mendengar sambil membayangkan bagaimana wujud Mapos itu. Menerjemahkan kalimat Hazeem terlalu sulit baginya; degenerasi sel-sel otak. Belum lagi tentang S-K.I.T dan objek percobaan gagal yang membuat kepalanya berpikir keras. Semuanya terasa asing dan membuatnya berlalu begitu saja.
Hazeem paham bahwa bocah di sampingnya itu masih menerka-nerka apa yang sedang terjadi.
“Zombie. Kau tahu? Mereka jadi zombie, bocah. Ah, nggak perlu kau pikir berlebihan. Yang penting jangan sekali-kali pergi ke pulau itu sendiri. Jika kau patuhi semuanya, kau akan hidup damai di sini.”
Egam bergidik mendengar kata zombie yang keluar dari mulut Hazeem. Bulu tengkuknya berdiri-diri membayangkan hal itu. Tapi, dia heran, mengapa laki-laki berwajah arab di sebelahnya ini bisa begitu enteng menjadikannya sebagai bahan pembicaraan, bahkan terdengar seperti lelucon.
“Tapi mengapa kita tidak berubah seperti mereka?” Egam heran merasakan paradoks tersebut. Tapi, Hazeem hanya mengangkat bahu dan alisnya. Membuat Egam terdiam kembali.
Dalam sisa perjalanan menuju Pulau Panjang Hazeem menjelaskan semua tentang Kepulauan Mapia dan mengapa mereka bertujuh bisa dibuang ke tempat ini. Mereka bertujuh awalnya adalah staf pengembang virus di instalasi S-K.I.T, lembaga pemerintah yang bergerak secara sembunyi-sembunyi untuk mengembangkan virus selama perang biologi berlangsung. Mereka melakukan pemberontakan dengan merusak instalasi S-K.I.T Jakarta dan membocorkan seluruh lokasi instalasi kepada pemberontak yang menentang perang biologi dan pemerintah. Sayangnya mereka gagal melarikan diri dan menjadikan mereka sebagai kelinci percobaan. S-K.I.T menganggap mereka bertujuh menunjukkan perkembangan yang dapat membahayakan subjek penelitian lain sehingga terpaksa harus dibuang ke Kepulauan Mapia. Tempat karantina bagi objek gagal penelitian S-K.I.T. Hazeem juga bercerita bahwa dirinya dan teman-temannya dibuang ke Pulau Bras saat berumur lima belas tahun.
Sama seperti usiaku saat ini, pikir Egam.
“Kami menghianati mereka. Menurutmu, apa kesalahanmu hingga dibuang ke sini?” Hazeem bertanya tiba-tiba.
Egam tidak siap dengan pertanyaan itu, lagi pula tidak ada ingatan tentang itu, untuk mengalihkan jawaban atas pertanyaan itu Egam justru bertanya balik yang membuat Hazeem diam cukup lama sebelum menjawabnya dengan mantap. “Bagaimana kalian bisa bekerja pada S-K.I.T di usia semuda itu?”
“Orang-orang tertentu punya kelebihan daripada yang lain bocah,” Hazeem menjawab dengan diplomatis yang justru membuat Egam semakin mengganjal. “Kau tahu, di kepulauan ini ada tiga pulau utama. Sebenarnya ada dua pulau kecil lainnya, Bras Kecil dan Fanildo Kecil. Fanildo Kecil hanya pulau karang di sisi utara Pulau Fanildo. Itu kearah barat kalau dari pulau yang kita tinggali. Tapi, kita nggak akan ke sana, hari ini kita sibuk sekali, lagi pula nggak ada apa-apa di sana. Kalau Bras Kecil ada di sisi timur laut Pulau Bras yang kita tinggali. Dan, saat cuaca cerah kau bisa berenang di laguna, di sisi  kanan kita itu,” Hazeem menunjuk laguna yang berwarna biru tua. Bagi Egam kepulauan ini seperti atol dengan laguna di tengahnya. “Oh ya, hampir lupa. Kalau malam jangan keluar pulau.”
“Ken…”
“Mapos hanya takut dengan cahaya matahari. Kulit mereka terbakar jika kena cahaya matahari,” Hazeem memotong omongan Egam.
“Jadi?” Egam merasa bingung dengan pernyataan Hazeem. Dia terlalu memutarkan kata-kata. Membuat Egam berpikir keras untuk menafsirkannya
“Oh, ayolah.”
Egam menelan ludah. “Jadi Mapos-Mapos itu akan datang ke pulau kita saat malam hari.”
Hazeem melihat Egam dengan tatapan geli. Jelas Egam merasa ketakutan. Dia jadi sedikit menyesal mengatakan hal itu. “Tenang bocah. Nanti Hans bakal tunjukkin sesuatu ke kamu.”
“Apa? Nanti?”
“Ya” Hazeem mengangguk penuh semangat dan senyum geli. “OK, kita sampai,” Hazeem melompati pintu jeep. “Ayo bocah.”
Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog