Tempat Kata-Kata Bermuara

MUSIM 1 - AWAL PUNCAK MUSIM PANAS


Tidak ada tanggal pasti untuk menentukan kapan bunga terakhir Pterocarpus indicus yang berjajar di depan sekolah itu akan gugur. Aku tidak pernah menghitungnya. Sebab usiaku terlalu dini untuk mengenal konsep tanggal dan waktu, meskipun aku sadar hal itu ada, namun aku anggap lalu saja.
Tapi, satu hal yang pasti, saat bunga terakhir Pterocarpus indicus itu jatuh ke tanah dan hanya menyisakan ranting-ranting kering beserta biji-biji yang matang, maka esok hari dingin udara pagi hanya bertahan sebentar lalu ia akan menguap bersama sinar matahari yang memancarkan daya terbesarnya. Beranjak siang koefisien radiasi matahari akan semakin besar, membuat suhu udara meningkat. Angin sepoi yang berhembus tidak akan mampu mengusir keringat yang menyembur terus menerus dari balik kulit. Bahkan ketika sore tiba, suasana tetap membara hingga malam benar-benar menyelimuti dusunku. Itulah awal puncak musim panas dimulai.
Tidak ada satu pun orang yang enggan berlama-lama di luar rumah saat siang hari. Bukan karena takut kulit menghitam. Kami, orang Jawa suburban ini, tidak pernah takut dengan sinar matahari. Meski kulit kami harus gosong karenanya. Sebab sejak dulu nenek moyang kami sudah bergumul dengan panasnya sinar matahari yang mereka nikmati di ladang, kebun, dan sawah-sawah yang menghampar di tanah yang subur. Maka kami sudah tuwuk dengannya.
Bahkan, ketika sebagian besar sawah pertanian sudah menjadi pabrik dan jalan aspal yang seringkali merenggut banyak nyawa, kami masih tidak takut dengan sinar matahari. Kami lebih takut kepada mandor yang memegang kuasa di pabrik dan polisi lalu lintas yang berjaga di tepi jalan. Di tangan mandor perut anak-anak kami bergantung dan di tangan polisi uang hasil kerja di pabrik harus lenyap seketika. Maka mandor dan polisi, sejak kemunculannya bersama pabrik-pabrik dan jalanan aspal yang menggusur tanah pertanian kami, adalah Tuhan baru yang harus kami senangkan dan kami puja sedemikian rupa demi keselamatan uang hasil jerih payah kami.
Menjelang maghrib, sehari setelah bunga terakhir Pterocarpus indicus gugur, orang-orang akan berhamburan di teras rumah mereka. Bukan menikmati hangat sinar mentari atau menyeruput secangkir teh hijau layaknya Keluarga Kerajaan Inggris yang hidup di istana megah, melainkan untuk menjemur balita-balita yang rewel tidak mau makan. Dengan menjemur anak-anak di bawah sinar matahari sore yang menyerobot di teras-teras rumah, maka anak-anak itu akan cepat kehausan dan dehidrasi, sehingga mereka jadi lahap makan pisang yang dicampur dengan nasi. Akhirnya, cepat tidurlah mereka di gendongan para emak karena kekenyangan.
Saat adzan maghrib berkumandang, kami, anak-anak yang pencilakan harus dipaksa masuk. Memang semakin malam, dihari pertama puncak musim panas, suhu tinggi akan membuat kami yang kelebihan energi tidak betah jika dipaksa tidur terlalu cepat. Tapi alasan utama saat adzan maghrib berkumandang kami harus masuk rumah adalah untuk menghindari jin bernama Ummu Sibyan yang bisa menyamar menjadi perempuan berbaju putih berambut panjang dengan buah dada yang membesar hingga ke tanah. Konon Ummu Sibyan akan mengambil anak-anak kecil yang masih kelayapan saat surup tiba. Dia akan menyembunyikan anak-anak yang diculiknya di rerimbunan bambu dan baru bisa keluar setelah orang tua si anak menabuh-nabuh peralatan dapur di seantero dusun.
Suara Emak-Emak yang memanggil anaknya seperti burung bondol yang menciap-ciap. Ramai dan melengking-lengking. Kami, yang tidak kenal takut pada manifestasi menyeramkan Ummu Sibyan justru berlari menjauh dan bersembunyi di gupitan antar rumah penduduk yang sempit. Saat Emak kami menemukan anaknya, mereka akan membabat darah dagingnya dengan tangan mereka sendiri. Menimbulkan bekas merah merona yang tidak akan hilang setidaknya hingga dua jam kedepan sekaligus memicu renggekan kami yang tidak kunjung reda hingga kami tertidur.
Setelah kami tertidur, para orang tua lebih memilih untuk gelendangan di teras daripada mengurung diri di dalam rumah. Menikmati semilir angin akan lebih cepat membuat mereka tertidur daripada bergumul di kamar yang panas. Belum lagi jika para suami meminta jatah malam kepada para istri yang kelelahan setelah mengurus rumah seharian. Jika sudah demikian, para istri akan menggerutu karena tidak nyaman dengan suhu yang semakin memanas.
Maka jangan heran, jika di puncak musim panas, rumah-rumah di dusunku – barangkali di dataran Jawa lain pun mengalaminya – jendela tetap terbuka meski malam hari. Sama sekali kami tidak takut pada maling atau pencuri, terlebih di rumahku, jenis rumah orang Jawa suburban yang selalu bercanda dengan kemelaratan. Tidak ada satu pun barang berharga di rumah kami. Maka bisa kau tebak, jika sebuah rumah tertutup rapat dimalam hari saat puncak musim kemarau, itu artinya di rumah itu ada barang berharga.
Pada malam hari awal puncak musim kemarau inilah, biji-biji Pterocarpus indicus berguguran disebabkan kombinasi perbedaan suhu dan angin kencang yang bertiup dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia. Biji kecil yang berselimut selaput tipis melingkar itu berputar dan melayang di udara sebelum jatuh ke tanah. Tidak jarang juga mereka terbawa angin dan jatuh di tempat lain, selaput tipis yang mengelilingi biji membuatnya seperti memiliki sayap yang bisa membawanya kemanapun dia mau. Asal ada angin, melanglangbuanalah mereka sesuka hati.
Ketika pagi menjelang. Kami, anak-anak dusun yang kekurangan permainan modern, akan berlarian dan saling rebut biji-biji gepeng itu dengan serakahnya. Mengumpulkannya di mangkuk plastik yang kami ambil dari dapur Emak kami. Biji-biji itu akan kami gunakan untuk bermain tos-tosan: adu kuat biji dengan saling menabrakkan biji yang dimiliki. Siapa yang bijinya hancur, dialah yang kalah. Dan yang kalah harus membayar dengan biji Pterocarpus indicus yang masih utuh.
Sialnya, meski tanah sudah dipenuhi dengan biji Pterocarpus indicus yang berserakan. Emak  melarangku untuk melakukan kegiatan kesukaanku pagi ini. Emak mendandaniku dengan pakaian yang biasa kupakai dihari raya. Aku mengira jika hari ini adalah hari raya. Sekali lagi, aku belum paham dengan konsep tanggal dan waktu. Namun Emak memberitahuku, jika hari ini aku akan sekolah.
Gusti pengeran… Sekolah?
Bukankah itu yang diperbincangkan Emak dan Eneng semalam, sebelum aku tertidur sambil sesenggukan setelah Emak habis membabatku dengan tangan karena ketahuan bersembunyi di antara gupitan rumah Cak Soleh dan Yu Sariyem saat maghrib tiba.
Bukannya aku sudah bilang kepada mereka kalau aku tidak ingin sekolah.

Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog