Tidak
ada tanggal pasti untuk menentukan kapan bunga terakhir Pterocarpus indicus yang berjajar di depan sekolah itu akan gugur.
Aku tidak pernah menghitungnya. Sebab usiaku terlalu dini untuk mengenal konsep
tanggal dan waktu, meskipun aku sadar hal itu ada, namun aku anggap lalu saja.
Tapi,
satu hal yang pasti, saat bunga terakhir Pterocarpus
indicus itu jatuh ke tanah dan hanya menyisakan ranting-ranting kering
beserta biji-biji yang matang, maka esok hari dingin udara pagi hanya bertahan
sebentar lalu ia akan menguap bersama sinar matahari yang memancarkan daya
terbesarnya. Beranjak siang koefisien radiasi matahari akan semakin besar, membuat
suhu udara meningkat. Angin sepoi yang
berhembus tidak akan mampu mengusir keringat yang menyembur terus menerus dari
balik kulit. Bahkan ketika sore tiba, suasana tetap membara hingga malam
benar-benar menyelimuti dusunku. Itulah awal puncak musim panas dimulai.
Tidak
ada satu pun orang yang enggan berlama-lama di luar rumah saat siang hari.
Bukan karena takut kulit menghitam. Kami, orang Jawa suburban ini, tidak pernah
takut dengan sinar matahari. Meski kulit kami harus gosong karenanya. Sebab sejak
dulu nenek moyang kami sudah bergumul dengan panasnya sinar matahari yang mereka
nikmati di ladang, kebun, dan sawah-sawah yang menghampar di tanah yang subur. Maka
kami sudah tuwuk dengannya.
Bahkan,
ketika sebagian besar sawah pertanian sudah menjadi pabrik dan jalan aspal yang
seringkali merenggut banyak nyawa, kami masih tidak takut dengan sinar
matahari. Kami lebih takut kepada mandor yang memegang kuasa di pabrik dan
polisi lalu lintas yang berjaga di tepi jalan. Di tangan mandor perut anak-anak
kami bergantung dan di tangan polisi uang hasil kerja di pabrik harus lenyap
seketika. Maka mandor dan polisi, sejak kemunculannya bersama pabrik-pabrik dan
jalanan aspal yang menggusur tanah pertanian kami, adalah Tuhan baru yang harus
kami senangkan dan kami puja sedemikian rupa demi keselamatan uang hasil jerih
payah kami.
Menjelang
maghrib, sehari setelah bunga terakhir Pterocarpus
indicus gugur, orang-orang akan berhamburan di teras rumah mereka. Bukan
menikmati hangat sinar mentari atau menyeruput secangkir teh hijau layaknya
Keluarga Kerajaan Inggris yang hidup di istana megah, melainkan untuk menjemur
balita-balita yang rewel tidak mau makan. Dengan menjemur anak-anak di bawah
sinar matahari sore yang menyerobot di teras-teras rumah, maka anak-anak itu
akan cepat kehausan dan dehidrasi, sehingga mereka jadi lahap makan pisang yang
dicampur dengan nasi. Akhirnya,
cepat tidurlah mereka di gendongan para emak karena kekenyangan.
Saat
adzan maghrib berkumandang, kami, anak-anak yang pencilakan harus dipaksa masuk. Memang semakin
malam, dihari pertama puncak musim panas, suhu tinggi akan membuat kami yang
kelebihan energi tidak betah jika dipaksa tidur terlalu cepat. Tapi alasan
utama saat adzan maghrib berkumandang kami harus masuk rumah adalah untuk
menghindari jin bernama Ummu Sibyan yang
bisa menyamar menjadi perempuan berbaju putih berambut panjang dengan buah dada
yang membesar hingga ke tanah. Konon Ummu
Sibyan akan mengambil anak-anak kecil yang masih kelayapan saat surup tiba. Dia akan menyembunyikan
anak-anak yang diculiknya di rerimbunan bambu dan baru bisa keluar setelah
orang tua si anak menabuh-nabuh peralatan dapur di seantero dusun.
Suara
Emak-Emak yang memanggil anaknya seperti burung bondol yang
menciap-ciap. Ramai dan melengking-lengking. Kami, yang tidak kenal takut pada manifestasi
menyeramkan Ummu Sibyan justru
berlari menjauh dan bersembunyi di gupitan
antar rumah penduduk yang sempit. Saat Emak
kami menemukan anaknya, mereka akan membabat darah dagingnya dengan tangan
mereka sendiri. Menimbulkan bekas merah merona yang tidak akan hilang setidaknya
hingga dua jam kedepan sekaligus memicu renggekan kami yang tidak kunjung reda
hingga kami tertidur.
Setelah
kami tertidur, para orang tua lebih memilih untuk gelendangan di teras daripada mengurung diri di dalam rumah.
Menikmati semilir angin akan lebih cepat membuat mereka tertidur daripada
bergumul di kamar yang panas. Belum lagi jika para suami meminta jatah malam kepada
para istri yang kelelahan setelah mengurus rumah seharian. Jika sudah demikian, para istri akan menggerutu karena tidak nyaman dengan
suhu yang semakin memanas.
Maka
jangan heran, jika di puncak musim panas, rumah-rumah di dusunku – barangkali di
dataran Jawa lain pun mengalaminya – jendela tetap terbuka meski malam hari. Sama
sekali kami tidak takut pada maling atau pencuri, terlebih di rumahku, jenis
rumah orang Jawa suburban yang selalu bercanda dengan kemelaratan. Tidak ada satu
pun barang berharga di rumah kami. Maka bisa kau tebak, jika sebuah rumah
tertutup rapat dimalam hari saat puncak musim kemarau, itu artinya di rumah itu
ada barang berharga.
Pada
malam hari awal puncak musim kemarau inilah, biji-biji Pterocarpus indicus berguguran disebabkan kombinasi perbedaan suhu
dan angin kencang yang bertiup dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia. Biji
kecil yang berselimut selaput tipis melingkar itu berputar dan melayang di udara
sebelum jatuh ke tanah. Tidak jarang juga mereka terbawa angin dan jatuh di
tempat lain, selaput tipis yang mengelilingi biji membuatnya seperti memiliki
sayap yang bisa membawanya kemanapun dia mau. Asal ada angin,
melanglangbuanalah mereka sesuka hati.
Ketika
pagi menjelang. Kami, anak-anak dusun yang kekurangan permainan modern, akan
berlarian dan saling rebut biji-biji gepeng itu dengan serakahnya.
Mengumpulkannya di mangkuk plastik yang kami ambil dari dapur Emak kami. Biji-biji itu akan kami
gunakan untuk bermain tos-tosan: adu
kuat biji dengan saling menabrakkan biji yang dimiliki. Siapa yang bijinya hancur,
dialah yang kalah. Dan yang kalah harus membayar dengan biji Pterocarpus indicus yang masih utuh.
Sialnya,
meski tanah sudah dipenuhi dengan biji Pterocarpus
indicus yang berserakan. Emak melarangku untuk melakukan kegiatan kesukaanku
pagi ini. Emak mendandaniku dengan
pakaian yang biasa kupakai dihari raya. Aku mengira jika hari ini adalah hari
raya. Sekali lagi, aku belum paham dengan konsep tanggal dan waktu. Namun Emak memberitahuku, jika hari ini aku
akan sekolah.
Gusti pengeran…
Sekolah?
Bukankah
itu yang diperbincangkan Emak dan Eneng semalam, sebelum aku tertidur
sambil sesenggukan setelah Emak habis
membabatku dengan tangan karena ketahuan bersembunyi di antara gupitan rumah Cak Soleh dan Yu Sariyem saat
maghrib tiba.
Bukannya
aku sudah bilang kepada mereka kalau aku tidak ingin sekolah.
No comments:
Post a Comment