Tempat Kata-Kata Bermuara

[NOVEL - THE SKY OF LIMA] EPISODE 2 : MAMA

Helmku sudah basah tidak hanya oleh air hujan, tapi juga oleh air mataku. Sial sekali, selama ini aku selalu mengejek siapapun yang menangis dalam hal cinta. Tapi kini aku harus menjilat sendiri air liurku itu. Memang sakit.
Aku tersenyum getir di balik helm yang terasa dingin. Kususuri jalanan menuju rumah dengan amarah. Dalam kondisi hujan seperti ini jalanan jadi semakin sepi dan aku bisa menumpahkan amarahku dengan memacu motor dengan kecepatan tinggi.
Kumasuki halaman rumah dengan memainkan gas motor. Lalu kemudian sebuah teriakan membuat amarahku luntur. Teriakan itu datang dari dalam rumah. Teriakan yang selalu aku dengar dan mewarnai hari-hariku sejak kecil. Teriakan mama.
Aku bergegas memasuki rumah dan kudapati mama yang sudah tertunduk di sebelah meja makan. Pecahan-pecahan gelas dan piring berserakan hampir di seluruh permukaan meja dan lantai. Kursi-kursi berjatuhan.
“Ma... Mama...” Aku berteriak dan menghampiri mama. Ternyata di depannya sudah ada Alsen yang berdiri dengan ikat pinggang menggulung di tangannya. Bersiap mengeksekusi dan memanfaatkan ikat pinggang itu sebagai cambuk.
“Apa yang kamu lakukan?” Sebenarnya terlalu bodoh menanyakan hal itu. Jelas dia sedang menyiksa mama. Namun sebenarnya tujuan utamaku bukan bertanya, melainkan menggertak agar dia berhenti menyiksa mama.
“Ini juga, anak tidak tahu diuntung. Ini semua karena kamu gagal mendidiknya Bulan. Dasar wanita murahan,” Alsen mengucapkan kalimatnya dengan lancar dan tanpa perasaan berdosa.
Hal itu membuatku meradang. Seketika aku berdiri dan menerjang tubuhnya yang besar. Aku tidak takut sama sekali karena tubuh kami sama-sama besar. Jadi kalau tidak aku yang roboh pasti dia. Tapi nampaknya aku kalah pengalaman karena sebagai polisi intelejen dia terbiasa duel semacam ini. Didorongnya tubuhku hingga jatuh dan menabrak kulkas. Mama menjerit dan hendak menolongku, tapi tangan besar Alsen menghalanginya. Kini tubuhku yang menjadi sasaran cambuk ikat pinggang di tangan Alsen. Tapi tidak masalah, setidaknya mama bisa terhindar dari ikat pinggang itu.
Mama sekali lagi berusaha melindungiku. Ia mencoba menghadang cambuk itu dengan punggungnya. Sebelum sempat menyentuh punggungnya Alsen menyingkirkan mama. Hingga akhirnya laki-laki brengsek itu merasa puas dia meninggalkan kami yang sudah penuh luka.
“Ajari anakmu baik-baik,” Alsen meninggalkan kami. Mama hanya bisa menangis. Aku bangkit perlahan dan mendekati mama. Air matanya tidak terbendung, perlahan aku memeluknya dan membisikkan kalimat yang selalu aku katakan saat rutinitas seperti ini terjadi. “Harusnya mama menceraikan dia sejak dulu.”
***
Aku sedang memindahkan data-data dari kamera ke dalam laptopku saat mama masuk ke dalam kamar. Di tangannya terdapat kotak obat dan sebaskom air dan handuk. “Sini biar obati luka kamu,” suaranya bergetar dan tampak ia berusaha menguatkan dirinya.
“Ah mama, taruh sajalah di meja. Biar nanti aku bersihkan sendiri.” Aku menghentikan pekerjaanku dan mendekat ke arahnya. “Sini biar aku bersihkan luka mama,” aku mengambil handuk dari tangannya. Setelah mencelupkan handuk ke air hangat dan memerasnya, kubersihkan pelipis dan pipi mama yang bengkak. Ada bagian pelipis yang tampak membiru.
“Kita harus memberinya pelajaran, Ma. Mama bisa melaporkannya bila tak mau menceraikannya. Kalau mama nggak mau biar aku saja yang melakukannya,” Aku mencerocos menasehati mama sambil terus membersihkan lukanya.
“Jangan seperti itu, Ga. Kasihan dia. Sekarang coba kamu pikir kalau mama memperkarakan atau menceraikannya. Karirnya akan hancur,” mama masih saja membelanya setelah semua ini terjadi.
“Lalu mama tidak kasihan dengan diri mama sendiri. Denganku. Nenek saja, yang masih orang tua kandung laki-laki sialan itu memberikan ijin kepada Mama untuk menceraikannya,” aku sedikit jengkel dengan ucapan Mama. Jelas aku tidak bisa mengatakannya bodoh, tidak mungkin. Tapi jelas Mama sudah dibutakan oleh cintanya.
Setelah tampak bersih aku mengambil kapas dan menuangkan obat merah di atasnya. Pelan-pelan kutempelkan kapas itu ke luka Mama. Ia sedikit mengernyit menahan rasa sakit. “Kita bisa memulai hidup baru tanpa dia, Ma. Aku sudah punya pekerjaan sekarang, setidaknya Harian Bagaskara mau memperpanjang kontraku,” Aku terus berusaha membujuk Mama agar mau bercerai dengan suaminya itu.
Mama hanya diam. Saat aku mulai membersihkan pipinya dia menyela dan memegang tanganku. “Braga, dengarkan Mama. Mama harap ini terakhir kalinya Mama berkata seperti ini padamu. Ingat, bagaimanapun juga dia tetap Papa kamu. Tanpa dia kamu tidak akan lahir. Maafkanlah segala perbuatannya. Percayalah, suatu saat dia pasti akan berubah. Dia hanya butuh waktu,” kini giliran Mama yang menceramahiku.
“Tapi sampai kapan, Ma?” Aku mencoba mendebat pernyataannya. Tapi yang kudapatkan hanya diam. Kini giliran Mama yang membersihkan luka-lukaku. Ia memintaku membuka kaos. Dan entah mengapa aku mengikuti perintahnya. Pelan-pelan Mama mulai membersihkan luka di pundak, leher, wajah, dada dan punggungku. Rasa perih menjalar ke seluruh tubuh. “Pelan-pelan dong, Ma,” aku memanja.
“Ah, kamu seperti anak kecil saja,” Mama semakin menekan handuknya tepat dilukaku. Aku mengeliat kesakitan sambil tertawa.
Tiba-tiba hapeku berbunyi. Kinan menelpon. Mama sempat melirik siapa yang menelpon anaknya malam-malam begini. Alih-alih menjawabnya justru telpon Kinan kumatikan.
“Kenapa nggak diangkat?” Mama mulai kepo.
Nggak papa,” jawabku sewot.
“Udah lama ya Kinan nggak main ke sini. Sekali-sekali kamu ajak lah ke sini. Dia jualan pecel ya, kok pecel buatannya bisa enak begitu,” Mama mulai melawak.
“Nggak usah bahas dia lah, Ma, aku lagi males ngomongin dia,” Aku mulai terganggu.
“Kamu bertengkar ya sama dia?” Kepo mama mulai memuncak.
Aku tidak mungkin bercerita tentang apa yang aku alami sebelum pulang. Aku tidak tega untuk bercerita jika mengingat apa yang dialami oleh Mama beberapa jam kebelakang. Maka aku lebih memilih diam dan memainkan hape. Berpura-pura mengecek email dan WA.
“Ga...” tiba-tiba mama memanggilku dengan nada serius.
“Iya, Ma,” aku menelan ludah. Bersiap dengan penyataan, pertanyaan ataupun bentuk wejangan serius yang mungkin keluar dari mulut Mama tentang hubunganku dengan Kinan.
“Kamu belum mandi ya. Baumu lebus banget.”
***
Ini adalah mandi paling menyiksa yang pernah aku lakukan. Aku mengeliat-geliat saat shower mengucurkan airnya ke seluruh tubuhku. ‘Lukisan’ karya Alsen meninggalkan guratan yang mengangga merah. Obat merah yang dilaburkan mama semalam ternyata tidak cukup ampuh. Beberapa luka masih mengucurkan darah merah yang membuat lantai kamar mandi berwarna kemerahan.
Dasar Papa sialan, aku merutukinya dalam hati sambil menahan perih.
Setelah selesai mandi aku tidak langsung memakai baju. Aku mengolesi luka-lukaku dengan salep yang semalam dikasih Mama. Ditengah-tengah aktivitas itu pintu kamarku diketuk seseorang dari luar.
“Ga... Braga... Buruan sarapan nih,” suara nenek menyahut dari luar.
Semalam, setelah Mama selesai mengobati lukaku, aku sengaja mengirim pesan kepada Nenek. Hanya Nenek yang bisa melindungi Mama dari Alsen. Dan tidak kusangka Nenek sudah datang sepagi ini.
“Iya Nek,” aku menyahut singkat agar beliau tahu kalau aku sudah bangun.
Aku bergegas memakai baju dan menyiapkan perlatan fotografiku. Setelah siap aku keluar dan sudah kudapati Mama dan Nenek di meja makan. Tidak lupa pula ada Alsen di sana. Mama langsung mengambilkan nasi goreng dan telur mata sapi untukku.
“Biarkan dia ambil makanannya sendiri,” Alsen mengingatkan Mama.
Mama langsung meletakkan piring yang akan diberikan padaku. Belum sempat Mama meletakkannya aku mengambil piring itu dan tersenyum manis padanya. Kuambil makananku sendiri dan mulai menikmatinya dengan hati terpaksa.
“Ma, aku berangkat dulu. Ada dinas luar kota hari ini,” Alsen berpamitan kepada Nenek setelah selesai minum dan mengelap mulutnya dengan tisu.
“Dinas apa hari Minggu seperti ini,” aku menyindir sembari terus makan tanpa melihat wajahnya.
“Braga, jaga omongan kamu,” Mama sempat mengingatkanku.
“Palingan juga ke rumah istri muda dan main sama anak-anaknya,” aku tidak mau kalah dan tetap menyindirnya sambil terus menikmati nasi gorengku.
“Ngomong apa kamu anak kecil,” Alsen mulai meradang. Aku merasa menang kali ini. Alsen tidak mungkin memukulku apalagi memukul Mama. Keberadaan Nenek membuatku dan Mama aman, setidaknya untuk sementara. Tapi itu cukuplah untuk sedikit menentangnya tanpa harus menerima siksaan.
“Sudah... Sudah... Alsen, cepat kamu berangkat. Braga, habiskan makananmu. Kamu harus memberi materi fotografikan hari ini,” Nenek berusaha melerai pertengkaran yang belum kami mulai. Dan usaha Nenek berhasil. Karena setelah itu Alsen berangkat keluar dan aku meneruskan makanku. Beberapa menit setelahnya aku meninggalkan meja makan dan menuju studio tempatku menjadi tutor fotografi part time.
***
Aku baru saja selesai dengan seorang anak yang bertanya tentang cara menciptakan efek bokeh yang bagus saat hapeku berbunyi. Intro lagu Beliver dari Gogo Dolls yang kujadikan nada dering mengalun pelan. Aku segera mengangkatnya karena telepon itu dari Nenek.
“Ga, kamu cepetan pulang!” Suara nenek terdengar kalut di seberang sana.
“Ada apa nek?” aku balik bertanya dan sekarang pikiranku mulai tidak enak.
Alih-alih menjawab nenek tetap memerintahku untuk pulang dan menutup teleponnya dengan segera.
Tanpa berpikir panjang aku bergegas pulang dan memacu motor dengan cepat. Saat tiba di rumah Nenek sudah menungguku di depan rumah. Wajahnya penuh keringat dan terlihat panik.
“Ada apa, Nek?” aku bertanya sembari mencium tangannya.
“Mama kamu,” wajah Nenek semakin tidak karuan.
“Kenapa dengan Mama?” aku masih memburu Nenek dengan pertanyaan meskipun aku sendiri tetap berjalan menuju kamar Mama.
Namun sebelum nenek menjawab pengelihatan di depanku menjawab semuanya. Tubuh Mama terkulai tak berdaya di atas ranjangnya. Tangan kirinya mengeluarkan darah yang membasahi seprei. Aku langsung mendekat ke arah Mama dan mencoba menghentikan pendarahan dengan mengikat lengan atasnya menggunakan tali tas kameraku.
“Mama,” aku setengah menjerit. “Apa yang Mama pikirkan hah,” air mataku mulai mengucur jatuh. “Nek, cepat panggil ambulan,” aku meminta Nenek untuk menelpon ambulan.
“Sudah, tapi dari tadi ambulan belum juga datang,” Nenek semakin kalut dan sekarang duduk bersimpuh di sebelah Mama.
“Udah, nggak papa,” suara Mama terdengar sangat kecil. Ah, Mama. Bisa-bisanya dia berkata ‘udah, nggak papa’ disaat seperti ini.
“Ma... Kenapa Mama tega ngelakuin ini. Gimana dengan Braga. Gimana dengan Nenek. Kenapa Mama mau ninggalin kita. Aku mengangkat kepala Mama ke atas pangkuanku. Aku mulai menciumi keningnya yang terasa dingin.
“Ma...,” Mama memanggil Nenek. “Tolong jaga Braga ya, maafin aku kalau nggak bisa jadi menantu yang baik buat Mama,” Mama mulai meneteskan air mata.
“Untuk kamu Braga, maafkanlah Papamu. Dia orang yang baik,” kalimat Mama terputus. Napasnya mulai pendek dan tanpa menunggu lama, beberapa detik kemudian suara Mama menghilang.
Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Yang aku lakukan hanya menangis dan merangkul tubuh Mama yang sudah tidak bernapas. Nenek menangis tersedu dan mencoba menenangkan aku. Bukannya malah tenang, kemarahanku keluar. Semua ini gara-gara Alsen sialan.
***
Pemakaman memang bukan tempat yang layak untuk dijadikan tempat bermain. Namun seumpama hal itu boleh, maka aku akan rela memindah rumahku di sebelah makam di depanku sekarang. Makam ini tidak jauh berbeda dengan yang lain. Batu andesit berwarna kelabu dengan tulisan yang setiap kali kubaca terasa menyayat hati: Bulan Kirana Adelina. Makam Mama.
Hujan semakin deras dan itu tidak membuatku ingin beranjak. Orang terakhir yang meninggalkanku sendiri adalah Nenek. Ia sempat berujar bahwa Mama tidak akan senang jika aku bersedih terlalu lama sebelum meninggalkanku. Ucapan Nenek ada benarnya. Mama adalah satu-satunya orang yang ketika semua dalam kondisi bersedih maka dia akan tersenyum. Satu-satunya orang bisa melihat hal-hal menyenangkan saat kondisi terburuk menerpa. Tapi mengapa Mama melakukan ini? Bunuh diri. Meninggalkan aku sendiri bersama Alsen si Papa tak layak pakai itu.
“Kenapa kamu masih di sini?” Alsen tiba-tiba datang dan memayungiku.
“Masih ingat kami berdua?” Kurasa ucapanku terlalu sarkastis, tapi aku bahagia saat kalimat itu terlontar.
“Dengar, Papa tidak ingin membahas hal itu di sini. Jaga kehormatan Mamamu di tempat peristirahatannya.”
Ucapan Alsen benar-benar membuat telingaku geli. Kehormatan? Dia bilang kehormatan. “Bukannya kamu yang sudah membuat Mama menjadi perempuan tidak terhormat?” Aku mengucapkan kalimat tersebut dengan air mata yang tersembunyi dibalik hujan. Kutinggalkan pemakaman dan Alsen sendirian. Pemakaman yang tadinya tenang mendadak terasa panas di tengah hujan. Sama seperti rumah. Awalnya kami hidup tenang, lalu berubah seperti neraka di tengah kedamaian.
Aku menyusuri pemakaman yang dipenuhi rumput-rumput hijau yang tumbuh subur. Semua ini menyadarkanku bahwa hujan tidak akan pernah menjamin kebahagiaan apapun kendati ia memberikan rasa sejuk. Karena sejatinya hujan adalah malapetaka itu sendiri.
It’s time to say good bye to the rain.
Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog