Bangunan itu terbagi menjadi tiga ruangan yang berjajar. Ruangan sebelah
kanan dan kiri memiliki luas yang tidak lebih dari dua puluh meter persegi.
Dari dua ruangan itu terdengar suara mesin berderak. Keras namun tidak
memekakan telinga. Sedangkan ruangan tengah dua kali lipat lebih luas dari dua
ruang di sebelahnya.
Namun, meskipun demikian ketiganya memiliki kesamaan. Dinding-dindingnya
terbuat dari anyaman akar mangrove yang diikat tali dari batang rambat Thalassia hemprichii. Atapnya jadi satu
dan terbuat dari pelepah daun kelapa yang dipasang bertumpuk selang seling.
Ujung-ujungnya diikat batang rambat Thalassia.
Bagian atas atap terpasang semacam lempengan-lempengan logam berwarna
kecoklatan yang memantulkan sinar matahari. Melintang berlawanan dengan pelepah
daun kelapa yang menjadi bagian dasar atap.
Sudah satu jam Brahma
menunggu di ruangan tengah bangunan itu. Ia sudah melihat sekilas remaja
berkulit kuning langsat yang ditemukan oleh Hans saat mengambil logistik.
Hatinya menggerutu, karena baru pertama kali ini ia meninggalkan aktivitasnya
gara-gara tamu tak diundang yang membuat hatinya begitu terganggu. Selain itu, entah
mengapa dia sangat terganggu melihat anak tersebut. Mengingatkan pada dirinya
dan enam temannya yang lain saat pertama kali dibuang ke pulau yang mereka
tinggali saat ini. Terlebih dia
berasal dari instalasi S-K.I.T. Cap di lengan kanannya membuktikan hal itu.
Sama seperti yang dia dan teman-temannya miliki.
Brahma sudah tidak sabar lagi. Dia berinisiatif
kembali ke honai tempat remaja berkulit kuning langsat itu. Semua orang barangkali masih ada di sana,
batin Brahma. Dia berjalan ke arah pintu. Melewati meja dan kursi kayu serta
dua buah drum yang di atasnya terdapat gelas alumunium. Tangan Brahma hendak
membuka pintu saat pintu ruangan terbuka. Hans muncul dengan muka berkeringat.
“Sudah selesai
dengan bocah itu?” Brahma
bertanya sinis. Jelas dia menunjukkan rasa terganggunya dengan sangat kentara.
“Ada yang salah?”
Hans balik bertanya. Memberikan jawaban retoris menjadi pilihan Hans untuk
mengetahui alasan Brahma secara diam-diam. Ia mengantungkan belatinya di
dinding dan menutup rapat pintu ruangan.
“Apa kau sudah gila?” air muka Brahma
menegang. Dia sedikit menekan suaranya agar tidak terdengar sampai keluar,
meskipun sebenarnya Brahma sendiri tahu kalau tempat ini bukan tempat yang
tepat untuk membicarakan rahasia atau hal penting lainnya. Sesuatu atau seseorang dapat saja mencuri dengar apa
yang dibicarakan dari ruangan sebelah. Mengintip dan mendengar dari celah-celah
anyaman dinding. Tapi, tidak pernah ada rahasia di tempat ini. Semua orang tahu
tentang semua orang. Sebuah prinsip tidak
tertulis yang terbentuk saat mereka membangun tempat ini lima tahun yang lalu.
“Apa maksudmu?”
Hans berkata seolah tidak melakukan kesalahan apa pun.
“Kau tahu? Dia dari instalasi S-K.I.T, Hans”
“Apa bedanya dengan kita?” Hans balik bertanya yang justru semakin
membuat Brahma naik darah. Hans mengambil kendi yang berada di meja kemudian
menenggak air di dalamnya dengan rakus hingga tumpah dari mulutnya.
“Bisa saja dia membawa penyakit yang membahayakan.”
“Kau terlalu paranoid Brahma. Sudahlah, semua akan baik-baik saja. Aku
jamin itu,” Hans mencoba menenangkan Brahma. Hans tahu bagaimana dan apa yang
ditakutkan oleh temannya itu. Sesuatu hal yang merusak ketenangan dan tatanan
yang sudah ada adalah hal yang paling dibenci olehnya. Ketenangan adalah status quo yang harus tetap
diperjuangkan. Sebuah prinsip konyol dari Brahma yang selalu ditekankan kepada
semua teman-temannya.
“Bagaimana kau tahu semua akan baik-baik saja. Kita sudah hidup aman
selama lima tahun Hans. Aku tidak ingin S-K.I.T mengusik kehidupan kita,
kecuali … dengan logistik yang selalu … mereka kirim tiap bulan itu,” Brahma
mengakhiri kalimatnya dengan mengebrak pintu. Dinding-dinding ruangan bergetar
dan merontokkan debu-debu mikroskopis ke lantai.
“Lalu ….” Hans hendak mendebat Brahma tapi kalimatnya terpotong oleh
suara pintu yang terbuka secara kasar dan tiba-tiba.
“Teman-teman, kurasa kalian harus segera ke honai,” seorang laki-laki
berambut klimis seumuran dengan mereka mendadak masuk dengan napas tersengal.
“Dia sudah bangun?” Tanya Brahma dan Hans hampir bersamaan.
“Kalian akan suka ini,” dia tersenyum misterius.
Brahma dan Hans saling tatap; berusaha menunjukkan perasaan
masing-masing sebelum akhirnya keduanya bergegas keluar dari ruangan dan menuju
tempat remaja laki-laki berkulit kuning langsat dirawat.
---------------
“Chris, apa yang terjadi?” Tanya Brahma heran karena Christof dan Hazeem
terkunci di luar honai.
“Bocah itu kesurupan,” jawab Christof seenaknya.
“Dia hampir
memotong lenganku.” Hazeem sedikit meringgis sambil menunjukkan lengan kanannya
yang mengeluarkan darah. Kepala botaknya mengeluarkan bulir-bulir kecil
keringat. Pun dengan rambut di jenggotnya yang menjadi tempat bergelantungan
bagi keringat-keringat yang menetes dari wajahnya.
“Di mana dia?”
Hans menyelidik.
“Mengambil alih
honaiku,” sahut Hazeem sambil mengelus lukanya.
---------------
Remaja berkulit
kuning langsat itu merasakan kepalanya masih berdenyut-denyut. Dia
mengingat-ingat peristiwa apa yang sudah menimpanya. Semakin berusaha ia
mengingat semakin berdenyut kepalanya dan tidak dapat mengingat apa-apa,
kecuali nama, hanya namanya sendiri yang ia ingat.
Ia bersandar pada dinding honai sebelum mencoba berdiri. Hampir saja ia
roboh saat bangkit dari duduknya kalau saja tangannya tidak berpegangan pada
dinding honai. Tubuhnya terhuyung-huyung dan tangan kanannya masih gemetar
memegang belati yang tadi dia ambil serampangan dari orang berwajah arab
berkepala botak. Darah yang membasahi ujung belati itu belum juga kering. Egam
sangsi darah siapakah itu.
“Hei, biarkan kami masuk,” sebuah suara berat datang dari luar.
Menggagetkan dirinya hingga terlonjak.
Dia bingung apa
yang harus dilakukannya. Dia
mondar-mandir tanpa arah, memikirkan langkah apa yang akan
ia ambil. Apakah harus kabur, tapi bagaimana caranya. Ruangan yang ia tempati
tidak memiliki lubang satu pun kecuali pintu sumber suara tadi berasal. Atau
dia harus menerima nasib, membuka pintu dan menyerahkan nasibnya pada
orang-orang diluar.
Ia mengedarkan pandangan sekali lagi dan matanya berhenti pada benda
tegak di tengah ruangan honai.
Ya, tiang penyangga itu, pekiknya dalam hati.
Secepat kilat dia berlari ke tiang di tengah ruangan. Memanjatnya dengan
susah payah hingga sampai pada bagian kayu horizontal. Dia bersandar di atas
kayu itu untuk menyembunyikan diri.
Brak… Pintu honai terbuka. Lima manusia masuk.
“Mengapa jumlah
mereka bertambah banyak?” remaja berkulit kuning langsat itu bergumam sendiri.
“Di mana dia Haz? Kukira tadi kau bilang dia mengambil alih honaimu.”
Remaja berkulit kuning langsat itu mengamati laki-laki berkulit cokelat dengan
raut muka tegas yang baru saja bicara.
Remaja bekulit
kuning langsat mengamati manusia-manusia yang ada di bawahnya dengan seksama. Memperlambat intensitas napasnya hingga ia sendiri
tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Tangannya bergetar memegang kayu kelapa
penahan atap. Lambat laun pegangannya menjadi lengket oleh keringatnya sendiri.
Pria berkepala botak sang pemilik ruangan berserapah
melihat ruangan miliknya berantakan seperti kandang ayam. Dia sempat menginjak
tabung kimia yang sudah pecah di tanah. Membuatnya hancur menjadi butiran kaca yang lebih
kecil.
Lima manusia itu menyebar. Menyisir isi
ruangan. Melongok kolong ranjang. Membuka lemari. Dan, saat semua berada pada
sisi-sisi honai, remaja berkulit kuning langsat itu melompat dari atas dan
kabur keluar melalui pintu honai yang terbuka.
“Hei!” teriak
Christof memberi tahu teman-temannya.
Brahma dan Hans berlari mengejar. Terlambat. Tidak akan tertangkap bila
dikejar. Remaja laki-laki itu cukup lincah meskipun baru sadar dari pingsannya.
Brahma mengambil bongkahan kayu yang bersandar di pinggir pintu dan melemparnya
ke arah remaja berkulit kuning langsat. Mengenai kakinya hingga keseimbangan
tubuhnya terganggu. Dia terhuyung-huyung sebelum akhirnya terjerembab ke tanah.
“Kau terlalu kasar,” ejek Hans sambil berlari ke arah remaja laki-laki
itu.
“Kau baik-baik
saja?” Tanya Hans sambil memegang tangannya yang gemetaran.
“Lepaskan aku?
Siapa kalian? Aku di mana? Mengapa aku bisa ada di sini?” remaja berkulit
kuning langsat itu mencecar banyak pertanyaan. Menggeliat sekuatnya untuk
membebaskan diri dan hampir saja menusukkan belati ke mata Hans.
“Hei… Hei…
Tenanglah.” Hans merampas
pisau dari tangannya. “Aku yang membawamu ke
sini. Aku menemukanmu di
pantai bersama logistik bulanan kami. Kau tidak sadarkan diri tadi.”
Bocah itu mulai melunak meskipun sebenarnya hatinya berontak, entah
kenapa dia merasa bisa sedikit memercayai laki-laki berkulit hitam rambut
keriting yang ada di depannya. Hans mulai melonggarkan pegangannya
“Siapa namamu bocah?” tanya Brahma yang berdiri di belakang Hans.
“Egam,” jawabnya ragu dan lemas. “Tempat apa ini?” Egam mengulang
kembali pertanyaan, kali ini dengan mata menatap tajam kepada laki-laki
dihadapannya.
No comments:
Post a Comment