Tempat Kata-Kata Bermuara

[NOVEL - THE SURV ISLAND] CHAPTER 2


Bangunan itu terbagi menjadi tiga ruangan yang berjajar. Ruangan sebelah kanan dan kiri memiliki luas yang tidak lebih dari dua puluh meter persegi. Dari dua ruangan itu terdengar suara mesin berderak. Keras namun tidak memekakan telinga. Sedangkan ruangan tengah dua kali lipat lebih luas dari dua ruang di sebelahnya.
Namun, meskipun demikian ketiganya memiliki kesamaan. Dinding-dindingnya terbuat dari anyaman akar mangrove yang diikat tali dari batang rambat Thalassia hemprichii. Atapnya jadi satu dan terbuat dari pelepah daun kelapa yang dipasang bertumpuk selang seling. Ujung-ujungnya diikat batang rambat Thalassia. Bagian atas atap terpasang semacam lempengan-lempengan logam berwarna kecoklatan yang memantulkan sinar matahari. Melintang berlawanan dengan pelepah daun kelapa yang menjadi bagian dasar atap.
Sudah satu jam Brahma menunggu di ruangan tengah bangunan itu. Ia sudah melihat sekilas remaja berkulit kuning langsat yang ditemukan oleh Hans saat mengambil logistik. Hatinya menggerutu, karena baru pertama kali ini ia meninggalkan aktivitasnya gara-gara tamu tak diundang yang membuat hatinya begitu terganggu. Selain itu, entah mengapa dia sangat terganggu melihat anak tersebut. Mengingatkan pada dirinya dan enam temannya yang lain saat pertama kali dibuang ke pulau yang mereka tinggali saat ini. Terlebih dia berasal dari instalasi S-K.I.T. Cap di lengan kanannya membuktikan hal itu. Sama seperti yang dia dan teman-temannya miliki.
Brahma sudah tidak sabar lagi. Dia berinisiatif kembali ke honai tempat remaja berkulit kuning langsat itu. Semua orang barangkali masih ada di sana, batin Brahma. Dia berjalan ke arah pintu. Melewati meja dan kursi kayu serta dua buah drum yang di atasnya terdapat gelas alumunium. Tangan Brahma hendak membuka pintu saat pintu ruangan terbuka. Hans muncul dengan muka berkeringat.
“Sudah selesai dengan bocah itu?” Brahma bertanya sinis. Jelas dia menunjukkan rasa terganggunya dengan sangat kentara.
“Ada yang salah?” Hans balik bertanya. Memberikan jawaban retoris menjadi pilihan Hans untuk mengetahui alasan Brahma secara diam-diam. Ia mengantungkan belatinya di dinding dan menutup rapat pintu ruangan.
 “Apa kau sudah gila?” air muka Brahma menegang. Dia sedikit menekan suaranya agar tidak terdengar sampai keluar, meskipun sebenarnya Brahma sendiri tahu kalau tempat ini bukan tempat yang tepat untuk membicarakan rahasia atau hal penting lainnya. Sesuatu atau seseorang dapat saja mencuri dengar apa yang dibicarakan dari ruangan sebelah. Mengintip dan mendengar dari celah-celah anyaman dinding. Tapi, tidak pernah ada rahasia di tempat ini. Semua orang tahu tentang semua orang. Sebuah prinsip tidak tertulis yang terbentuk saat mereka membangun tempat ini lima tahun yang lalu.
“Apa maksudmu?” Hans berkata seolah tidak melakukan kesalahan apa pun.
“Kau tahu? Dia dari instalasi S-K.I.T, Hans”
“Apa bedanya dengan kita?” Hans balik bertanya yang justru semakin membuat Brahma naik darah. Hans mengambil kendi yang berada di meja kemudian menenggak air di dalamnya dengan rakus hingga tumpah dari mulutnya.
“Bisa saja dia membawa penyakit yang membahayakan.”
“Kau terlalu paranoid Brahma. Sudahlah, semua akan baik-baik saja. Aku jamin itu,” Hans mencoba menenangkan Brahma. Hans tahu bagaimana dan apa yang ditakutkan oleh temannya itu. Sesuatu hal yang merusak ketenangan dan tatanan yang sudah ada adalah hal yang paling dibenci olehnya. Ketenangan adalah status quo yang harus tetap diperjuangkan. Sebuah prinsip konyol dari Brahma yang selalu ditekankan kepada semua teman-temannya.
“Bagaimana kau tahu semua akan baik-baik saja. Kita sudah hidup aman selama lima tahun Hans. Aku tidak ingin S-K.I.T mengusik kehidupan kita, kecuali … dengan logistik yang selalu … mereka kirim tiap bulan itu,” Brahma mengakhiri kalimatnya dengan mengebrak pintu. Dinding-dinding ruangan bergetar dan merontokkan debu-debu mikroskopis ke lantai.
“Lalu ….” Hans hendak mendebat Brahma tapi kalimatnya terpotong oleh suara pintu yang terbuka secara kasar dan tiba-tiba.
“Teman-teman, kurasa kalian harus segera ke honai,” seorang laki-laki berambut klimis seumuran dengan mereka mendadak masuk dengan napas tersengal.
“Dia sudah bangun?” Tanya Brahma dan Hans hampir bersamaan.
“Kalian akan suka ini,” dia tersenyum misterius.
Brahma dan Hans saling tatap; berusaha menunjukkan perasaan masing-masing sebelum akhirnya keduanya bergegas keluar dari ruangan dan menuju tempat remaja laki-laki berkulit kuning langsat dirawat.
---------------
“Chris, apa yang terjadi?” Tanya Brahma heran karena Christof dan Hazeem terkunci di luar honai.
“Bocah itu kesurupan,” jawab Christof seenaknya.
“Dia hampir memotong lenganku.” Hazeem sedikit meringgis sambil menunjukkan lengan kanannya yang mengeluarkan darah. Kepala botaknya mengeluarkan bulir-bulir kecil keringat. Pun dengan rambut di jenggotnya yang menjadi tempat bergelantungan bagi keringat-keringat yang menetes dari wajahnya.
“Di mana dia?” Hans menyelidik.
“Mengambil alih honaiku,” sahut Hazeem sambil mengelus lukanya.
---------------
Remaja berkulit kuning langsat itu merasakan kepalanya masih berdenyut-denyut. Dia mengingat-ingat peristiwa apa yang sudah menimpanya. Semakin berusaha ia mengingat semakin berdenyut kepalanya dan tidak dapat mengingat apa-apa, kecuali nama, hanya namanya sendiri yang ia ingat.
Ia bersandar pada dinding honai sebelum mencoba berdiri. Hampir saja ia roboh saat bangkit dari duduknya kalau saja tangannya tidak berpegangan pada dinding honai. Tubuhnya terhuyung-huyung dan tangan kanannya masih gemetar memegang belati yang tadi dia ambil serampangan dari orang berwajah arab berkepala botak. Darah yang membasahi ujung belati itu belum juga kering. Egam sangsi darah siapakah itu.
“Hei, biarkan kami masuk,” sebuah suara berat datang dari luar. Menggagetkan dirinya hingga terlonjak.
Dia bingung apa yang harus dilakukannya. Dia mondar-mandir tanpa arah, memikirkan langkah apa yang akan ia ambil. Apakah harus kabur, tapi bagaimana caranya. Ruangan yang ia tempati tidak memiliki lubang satu pun kecuali pintu sumber suara tadi berasal. Atau dia harus menerima nasib, membuka pintu dan menyerahkan nasibnya pada orang-orang diluar.
Ia mengedarkan pandangan sekali lagi dan matanya berhenti pada benda tegak di tengah ruangan honai.
Ya, tiang penyangga itu, pekiknya dalam hati.
Secepat kilat dia berlari ke tiang di tengah ruangan. Memanjatnya dengan susah payah hingga sampai pada bagian kayu horizontal. Dia bersandar di atas kayu itu untuk menyembunyikan diri.
Brak… Pintu honai terbuka. Lima manusia masuk.
“Mengapa jumlah mereka bertambah banyak?” remaja berkulit kuning langsat itu bergumam sendiri.
“Di mana dia Haz? Kukira tadi kau bilang dia mengambil alih honaimu.” Remaja berkulit kuning langsat itu mengamati laki-laki berkulit cokelat dengan raut muka tegas yang baru saja bicara.
Remaja bekulit kuning langsat mengamati manusia-manusia yang ada di bawahnya dengan seksama. Memperlambat intensitas napasnya hingga ia sendiri tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Tangannya bergetar memegang kayu kelapa penahan atap. Lambat laun pegangannya menjadi lengket oleh keringatnya sendiri. Pria berkepala botak sang pemilik ruangan berserapah melihat ruangan miliknya berantakan seperti kandang ayam. Dia sempat menginjak tabung kimia yang sudah pecah di tanah. Membuatnya hancur menjadi butiran kaca yang lebih kecil.
Lima manusia itu menyebar. Menyisir isi ruangan. Melongok kolong ranjang. Membuka lemari. Dan, saat semua berada pada sisi-sisi honai, remaja berkulit kuning langsat itu melompat dari atas dan kabur keluar melalui pintu honai yang terbuka.
“Hei!” teriak Christof memberi tahu teman-temannya.
Brahma dan Hans berlari mengejar. Terlambat. Tidak akan tertangkap bila dikejar. Remaja laki-laki itu cukup lincah meskipun baru sadar dari pingsannya. Brahma mengambil bongkahan kayu yang bersandar di pinggir pintu dan melemparnya ke arah remaja berkulit kuning langsat. Mengenai kakinya hingga keseimbangan tubuhnya terganggu. Dia terhuyung-huyung sebelum akhirnya terjerembab ke tanah.
“Kau terlalu kasar,” ejek Hans sambil berlari ke arah remaja laki-laki itu.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Hans sambil memegang tangannya yang gemetaran.
“Lepaskan aku? Siapa kalian? Aku di mana? Mengapa aku bisa ada di sini?” remaja berkulit kuning langsat itu mencecar banyak pertanyaan. Menggeliat sekuatnya untuk membebaskan diri dan hampir saja menusukkan belati ke mata Hans.
“Hei… Hei… Tenanglah.” Hans merampas pisau dari tangannya. “Aku yang membawamu ke sini. Aku menemukanmu di pantai bersama logistik bulanan kami. Kau tidak sadarkan diri tadi.”
Bocah itu mulai melunak meskipun sebenarnya hatinya berontak, entah kenapa dia merasa bisa sedikit memercayai laki-laki berkulit hitam rambut keriting yang ada di depannya. Hans mulai melonggarkan pegangannya
“Siapa namamu bocah?” tanya Brahma yang berdiri di belakang Hans.
“Egam,” jawabnya ragu dan lemas. “Tempat apa ini?” Egam mengulang kembali pertanyaan, kali ini dengan mata menatap tajam kepada laki-laki dihadapannya.

Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog