Mendadak
belalang hilang dari peredaran. Sawah-sawah mulai dipenuhi oleh asap sisa
pembakaran jerami. Mengepul putih, membumbung tinggi, lalu lenyap serupa awan
yang dikacaukan elang. Inilah saat para wanua,
petani sawah, akan menanam palawija. Tuwowo,
sang pembagi air irigasi mulai bekerja ekstra. Selama musim ketiga (baca: ketigo. Huruf ‘o’ dibunyikan seperti dalam kata ondhel-ondhel) yang
tidak kurang dari delapan puluh delapan hari, keadilan dan integritas seorang tuwowo akan dipertaruhkan. Bisakah
mereka membagi air untuk tanah sawah kering berhektar-hektar di dusunku. Maka
jika kau datang ke sawah tepat disaat subuh dan kau dapati bayangan manusia di
pintu air, jangan kira bayangan itu bedenggik
yang sedang mencari anaknya. Itu adalah tuwowo
yang sedang berpikir supaya jabatan mereka tidak lengser diganti orang karena
dianggap tidak becus membagi air.
Seorang
tuwowo dipilih saat musim ketiga berakhir melalui musyawarah
mufakat yang dilakukan oleh para sesepuh dusun. Tidak pernah ada voting disetiap pemilihan tuwowo. Sebab warga dusun selalu percaya
dengan para sesepuh yang dianggap memiliki ilmu agama tinggi dan kebijaksanaan
yang tidak diragukan. Sehingga para sesepuh dusun akan memilih tuwowo dengan sangat hati-hati agar
tidak disalahkan oleh warga karena memilih seorang yang serakah dan tidak adil
sebagai pembagi air. Maka jadilah jabatan tuwowo
adalah sebuah kebanggaan maha agung tiada duanya di dusunku.
Tuwowo tidak
pernah mendapatkan gaji dari siapapun, tapi sebagai gantinya mereka akan
mendapat sepetak tanah bengkok, jatah
air lebih banyak untuk sawah mereka, dan jatah sembako setiap bulan dari dusun.
Maka, sesiapa saja yang ingin menjadi tuwowo,
mereka akan bekerja giat selama setahun terakhir, membagi pupuk kepada petani
lain, rela tanamannya kerdil asal tanaman petani lain menjadi lebat dan rela
keluarga mereka makan seadanya karena hasil panen harus dibagi-bagi dengan sesepuh
dusun. Sungguh jabatan tuwowo ini
membuat para pengejarnya menjadi baik hati dan suka bersedekah.
***
Tidak pernah ada tradisi ulang tahun
di rumahku. Apatah yang akan kami gunakan untuk membeli kue berhias lilin
sesuai umur itu? Untuk makan esok hari saja kami cari hari ini. Namun Emak sudah berjanji untuk memberi
kejutan saat aku berulang tahun yang ke-5, tapi aku tidak yakin jika kejutan dari
Emak akan berupa kue ulang tahun yang
indah. Maka aku tidak berharap lebih dengan kejutan rahasia itu, meskipun aku
sendiri sudah senang tidak karuan di malam hari tanggal 21 Juni.
Tidak bisa tidur aku dibuatnya. Aku
sibuk memandangi jam tua di dinding kamarku yang jarum detiknya sudah patah. Membuat
jarum detik itu jadi jarum paling pendek di antara jarum lain. Hingga menjelang
subuh aku masih terjaga, sampai akhirnya Emak
yang malam ini sengaja tidak berjualan ke pasar untuk memberiku kejutan
memasuki kamarku yang pengap.
“Lho. Sudah bangun
rupanya,” ucapnya sambil tersenyum. Aku bangkit dari kasur.
“Cepat pakai
jaket, akan Emak kasih tahu
kejutannya,” perempuan itu tersenyum lagi sambil menggelung rambutnya.
Segera aku memakai
jaket putih motif hello kitty yang
tergantung di pintu. Kuikuti Emak yang
sudah keluar dari kamar lebih dulu. Dinginnya pagi diawal musim kemarau membuat
napasku berasap. Bulu
tengkukku berdiri-diri. Kulitku serasa membeku. Ketiga telah di depan mata.
***
Aku selalu
menghina orang-orang yang memiliki hobi melihat bintang: stargazzing. Kurasa konyol jika aktivitas mengamati bintang disebut
sebagai hobi. Sebab nenek moyang kami, orang-orang Nusantara, apa pun pekerjaan
mereka, mereka selalu melakukannya: mengamati bintang-bintang. Moyang kami yang
bekerja di sawah akan mengamati bintang-bintang untuk menentukan masa tanam,
panen hingga memilih jenis tanaman apa yang akan ditaburkan di lahan pertanian
mereka.
Mereka yang
memiliki perahu untuk menangkap ikan akan menggunakan bintang sebagai pedoman
kapan harus pergi menebar jala. Bintang-bintang menunjukkan arah bagi mereka.
Sebuah mekanisme navigasi canggih yang sederhana dan efisien. Para bintang juga
memberi tahu jenis ikan apa yang sedang banyak di perairan. Maka moyang kami
yang seorang pelaut tidak akan pernah salah membawa peralatan menangkap ikan
dan tidak akan pernah keliru untuk menggunakan teknik menangkap ikan yang
mereka terapkan.
Leluhur kami yang
memelihara raja kaya – ternak berkaki
empat – menggunakan bintang gemintang sebagai penanda kapan harus mulai
mengawinkan ternak-ternaknya. Seolah bila ternak dikawinkan diluar masa yang
sudah ditetapkan maka akan gagal kawin mereka. Gagal mereka untuk bunting. Maka
ternak-ternak itu harus menahan syahwat hingga tiba musim untuk dikawinkan.
Para tukang bangunan tidak boleh sembarangan menumpuk batu. Sebab
bangunan adalah sebuah sasana berlangsungnya aktivitas ketuhanan dan sosial,
maka ia tidak boleh didirikan serta merta. Jika bintang paling terang selepas
senja muncul lebih dulu dari bulan dan posisinya terlalu dekat dengan horizon,
maka esok pagi mereka akan mulai untuk duduk
padhemi, menggali tanah sebagai pondasi bangunan.
Bahkan, seorang pengganguran sekalipun yang kerjanya cuma tidur, ngopi
dan menggoda kembang dusun akan menggunakan bintang dalam melancarkankan
taktiknya. Saat Lintang Belantik terbit sebelum subuh diakhir Agustus, mereka,
pemuda dusun penganggur akan merenggek-renggek pada bapaknya untuk segera
dikawinkan. Sebab dalam hitungan mereka, saat tiba puncak musim rendheng – hujan – beberapa bulan lagi
keinginan mereka akan dipenuhi karena bapak mereka sedang punya uang.
Maka mengamati bintang bukanlah hal baru bagi nenek moyang kami, juga
bagi kami. Sebab bintang lebih dari sekedar benda berkedip-kedip yang menjadi
media penyalur hobi. Ia bukan sekedar formasi-formasi kosong yang berubah-ubah
posisi dikala malam. Bintang berjalan seiring
dengan kehidupan yang kami jalani. Bintang adalah hidup kami sendiri.
***
Setelah Emak memberiku kejutan ulang tahun yang
ternyata berupa makan menjelang subuh di warung kesukaanku yang menghadap sawah
di sisi timur dusun, aku enggan untuk pulang. Kau lihat, bukan kue ulang tahun
yang indah dan megah ‘kan? Tapi kuulangi sekali lagi. Aku senang tidak karuan.
Maka tidak akan kuperpanjang cerita tentang hadiah ulang tahun sederhana itu. Lebih
menarik jika kuceritakan tentang mereka. Hadiah ulang tahun yang tidak pernah
kuduga sebelumnya. Hadiah ulang tahun yang membuat aku enggan untuk pulang.
Hadiah yang tidak perlu aku minta pada Emak
sebab mereka selalu menanti dan menungguku disubuh pertama dihari ulang
tahunku: Waluku dan…. Kartika.
Tuwowo Gelendang yang pertama kali mengenalkan aku pada
mereka. Mereka begitu cantik.
“Kau lihat itu, Le, yang
bentuknya seperti bajak itu Waluku. Yang bersinar cerah sebanyak tujuh buah itu
Kartika. Beri salam pada mereka,” Tuwowo
Gelendang menunjuk-nunjuk bintang gemintang di langit yang membentang di ufuk
timur. Sementara Emak masih sibuk
dengan pemilik warung.
Kuamati mereka berdua. Waluku yang tidak lain adalah Orion sang pemburu
merupakan sebutan kami untuknya. Karena kami hidup di belahan bumi selatan dan
masih cukup dekat dengan khatulistiwa, maka pemburu itu terlihat berbaring
sejajar dengan horizon. Maka pemburu itu bukanlah
pemburu, melainkan terlihat seperti bajak sawah yang terlentang. Bajak yang
siap digunakan oleh wanua. Itulah
sebabnya kami memanggilnya Waluku, bajak dalam Bahasa Kawi.
“Tiga bintang yang
memanjang itu disebut Lintang Belantik. Seperti gagang bajak.” Kuikuti gerakan
jari Tuwowo Gelendang menunjuk
bintang terang yang berjarak lebar. “Sedangkan tiga yang berdekatan itu leher
bajaknya,” yang dimaksud oleh Tuwowo
Gelendang adalah deretan sabuk Orion yang berdiri tegak agak miring ke kiri. Aku terpesona dengan penjelasan laki-laki paru baya di
sampingku ini. Juga dengan Waluku yang baru kukenal.
Adapun Kartika, ia lebih membuat aku jatuh cinta. Tujuh
bintang terang itu berkelip-kelip terang. Seolah pamer dengan bintang-bintang
lain. Dominasi mereka tidak tertandingi. Membuat bintang lain ciut nyalinya.
Kudengar baik-baik
penjelasan tuwowo. “Kalau pas cerah,
jumlah bintangnya ada sembilan,” ucapnya sembari menyemburkan asap rokok yang
sengaja dibentuknya menjadi bulat-bulat. Bergelung sekejap lalu buyar bentuknya.
Aku terkesima
dengan tujuh bintang itu. Mereka seperti putri-putri cantik yang bersinar
diantara dayang-dayangnya. Kartika. Begitulah namanya. Aku tidak peduli dengan
keganjilan nama itu. Betapa tidak, kartika jika diartikan adalah bintang. Maka
menjadi aneh bila kita memanggilnya Bintang Kartika. Bintang bintang. Tapi aku
sudah terlanjur disihir oleh namanya, terlebih pesona mereka.
ᐈ Casino Site With Live dealers in NJ. Play with top
ReplyDeletePlay Live Dealer at the largest live dealer casino luckyclub.live in NJ, Live dealer games. · Best Live Casino in NJ. Get your Sign up Bonus and