Tempat Kata-Kata Bermuara

MUSIM 2 - KARTIKA


Mendadak belalang hilang dari peredaran. Sawah-sawah mulai dipenuhi oleh asap sisa pembakaran jerami. Mengepul putih, membumbung tinggi, lalu lenyap serupa awan yang dikacaukan elang. Inilah saat para wanua, petani sawah, akan menanam palawija. Tuwowo, sang pembagi air irigasi mulai bekerja ekstra. Selama musim ketiga (baca: ketigo. Huruf ‘o’ dibunyikan seperti dalam kata ondhel-ondhel) yang tidak kurang dari delapan puluh delapan hari, keadilan dan integritas seorang tuwowo akan dipertaruhkan. Bisakah mereka membagi air untuk tanah sawah kering berhektar-hektar di dusunku. Maka jika kau datang ke sawah tepat disaat subuh dan kau dapati bayangan manusia di pintu air, jangan kira bayangan itu bedenggik yang sedang mencari anaknya. Itu adalah tuwowo yang sedang berpikir supaya jabatan mereka tidak lengser diganti orang karena dianggap tidak becus membagi air.
Seorang tuwowo dipilih saat musim ketiga berakhir melalui musyawarah mufakat yang dilakukan oleh para sesepuh dusun. Tidak pernah ada voting disetiap pemilihan tuwowo. Sebab warga dusun selalu percaya dengan para sesepuh yang dianggap memiliki ilmu agama tinggi dan kebijaksanaan yang tidak diragukan. Sehingga para sesepuh dusun akan memilih tuwowo dengan sangat hati-hati agar tidak disalahkan oleh warga karena memilih seorang yang serakah dan tidak adil sebagai pembagi air. Maka jadilah jabatan tuwowo adalah sebuah kebanggaan maha agung tiada duanya di dusunku.
Tuwowo tidak pernah mendapatkan gaji dari siapapun, tapi sebagai gantinya mereka akan mendapat sepetak tanah bengkok, jatah air lebih banyak untuk sawah mereka, dan jatah sembako setiap bulan dari dusun. Maka, sesiapa saja yang ingin menjadi tuwowo, mereka akan bekerja giat selama setahun terakhir, membagi pupuk kepada petani lain, rela tanamannya kerdil asal tanaman petani lain menjadi lebat dan rela keluarga mereka makan seadanya karena hasil panen harus dibagi-bagi dengan sesepuh dusun. Sungguh jabatan tuwowo ini membuat para pengejarnya menjadi baik hati dan suka bersedekah.
***
Tidak pernah ada tradisi ulang tahun di rumahku. Apatah yang akan kami gunakan untuk membeli kue berhias lilin sesuai umur itu? Untuk makan esok hari saja kami cari hari ini. Namun Emak sudah berjanji untuk memberi kejutan saat aku berulang tahun yang ke-5, tapi aku tidak yakin jika kejutan dari Emak akan berupa kue ulang tahun yang indah. Maka aku tidak berharap lebih dengan kejutan rahasia itu, meskipun aku sendiri sudah senang tidak karuan di malam hari tanggal 21 Juni.
Tidak bisa tidur aku dibuatnya. Aku sibuk memandangi jam tua di dinding kamarku yang jarum detiknya sudah patah. Membuat jarum detik itu jadi jarum paling pendek di antara jarum lain. Hingga menjelang subuh aku masih terjaga, sampai akhirnya Emak yang malam ini sengaja tidak berjualan ke pasar untuk memberiku kejutan memasuki kamarku yang pengap.
“Lho. Sudah bangun rupanya,” ucapnya sambil tersenyum. Aku bangkit dari kasur.
“Cepat pakai jaket, akan Emak kasih tahu kejutannya,” perempuan itu tersenyum lagi sambil menggelung rambutnya.
Segera aku memakai jaket putih motif hello kitty yang tergantung di pintu. Kuikuti Emak yang sudah keluar dari kamar lebih dulu. Dinginnya pagi diawal musim kemarau membuat napasku berasap. Bulu tengkukku berdiri-diri. Kulitku serasa membeku. Ketiga telah di depan mata.
***
Aku selalu menghina orang-orang yang memiliki hobi melihat bintang: stargazzing. Kurasa konyol jika aktivitas mengamati bintang disebut sebagai hobi. Sebab nenek moyang kami, orang-orang Nusantara, apa pun pekerjaan mereka, mereka selalu melakukannya: mengamati bintang-bintang. Moyang kami yang bekerja di sawah akan mengamati bintang-bintang untuk menentukan masa tanam, panen hingga memilih jenis tanaman apa yang akan ditaburkan di lahan pertanian mereka.
Mereka yang memiliki perahu untuk menangkap ikan akan menggunakan bintang sebagai pedoman kapan harus pergi menebar jala. Bintang-bintang menunjukkan arah bagi mereka. Sebuah mekanisme navigasi canggih yang sederhana dan efisien. Para bintang juga memberi tahu jenis ikan apa yang sedang banyak di perairan. Maka moyang kami yang seorang pelaut tidak akan pernah salah membawa peralatan menangkap ikan dan tidak akan pernah keliru untuk menggunakan teknik menangkap ikan yang mereka terapkan.
Leluhur kami yang memelihara raja kaya – ternak berkaki empat – menggunakan bintang gemintang sebagai penanda kapan harus mulai mengawinkan ternak-ternaknya. Seolah bila ternak dikawinkan diluar masa yang sudah ditetapkan maka akan gagal kawin mereka. Gagal mereka untuk bunting. Maka ternak-ternak itu harus menahan syahwat hingga tiba musim untuk dikawinkan.
Para tukang bangunan tidak boleh sembarangan menumpuk batu. Sebab bangunan adalah sebuah sasana berlangsungnya aktivitas ketuhanan dan sosial, maka ia tidak boleh didirikan serta merta. Jika bintang paling terang selepas senja muncul lebih dulu dari bulan dan posisinya terlalu dekat dengan horizon, maka esok pagi mereka akan mulai untuk duduk padhemi, menggali tanah sebagai pondasi bangunan.
Bahkan, seorang pengganguran sekalipun yang kerjanya cuma tidur, ngopi dan menggoda kembang dusun akan menggunakan bintang dalam melancarkankan taktiknya. Saat Lintang Belantik terbit sebelum subuh diakhir Agustus, mereka, pemuda dusun penganggur akan merenggek-renggek pada bapaknya untuk segera dikawinkan. Sebab dalam hitungan mereka, saat tiba puncak musim rendheng – hujan – beberapa bulan lagi keinginan mereka akan dipenuhi karena bapak mereka sedang punya uang.
Maka mengamati bintang bukanlah hal baru bagi nenek moyang kami, juga bagi kami. Sebab bintang lebih dari sekedar benda berkedip-kedip yang menjadi media penyalur hobi. Ia bukan sekedar formasi-formasi kosong yang berubah-ubah posisi dikala malam. Bintang berjalan seiring dengan kehidupan yang kami jalani. Bintang adalah hidup kami sendiri.
***
Setelah Emak memberiku kejutan ulang tahun yang ternyata berupa makan menjelang subuh di warung kesukaanku yang menghadap sawah di sisi timur dusun, aku enggan untuk pulang. Kau lihat, bukan kue ulang tahun yang indah dan megah ‘kan? Tapi kuulangi sekali lagi. Aku senang tidak karuan. Maka tidak akan kuperpanjang cerita tentang hadiah ulang tahun sederhana itu. Lebih menarik jika kuceritakan tentang mereka. Hadiah ulang tahun yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Hadiah ulang tahun yang membuat aku enggan untuk pulang. Hadiah yang tidak perlu aku minta pada Emak sebab mereka selalu menanti dan menungguku disubuh pertama dihari ulang tahunku: Waluku dan…. Kartika.
Tuwowo Gelendang yang pertama kali mengenalkan aku pada mereka. Mereka begitu cantik.
“Kau lihat itu, Le, yang bentuknya seperti bajak itu Waluku. Yang bersinar cerah sebanyak tujuh buah itu Kartika. Beri salam pada mereka,” Tuwowo Gelendang menunjuk-nunjuk bintang gemintang di langit yang membentang di ufuk timur. Sementara Emak masih sibuk dengan pemilik warung.
Kuamati mereka berdua. Waluku yang tidak lain adalah Orion sang pemburu merupakan sebutan kami untuknya. Karena kami hidup di belahan bumi selatan dan masih cukup dekat dengan khatulistiwa, maka pemburu itu terlihat berbaring sejajar dengan horizon. Maka pemburu itu bukanlah pemburu, melainkan terlihat seperti bajak sawah yang terlentang. Bajak yang siap digunakan oleh wanua. Itulah sebabnya kami memanggilnya Waluku, bajak dalam Bahasa Kawi.
“Tiga bintang yang memanjang itu disebut Lintang Belantik. Seperti gagang bajak.” Kuikuti gerakan jari Tuwowo Gelendang menunjuk bintang terang yang berjarak lebar. “Sedangkan tiga yang berdekatan itu leher bajaknya,” yang dimaksud oleh Tuwowo Gelendang adalah deretan sabuk Orion yang berdiri tegak agak miring ke kiri. Aku terpesona dengan penjelasan laki-laki paru baya di sampingku ini. Juga dengan Waluku yang baru kukenal.
Adapun Kartika, ia lebih membuat aku jatuh cinta. Tujuh bintang terang itu berkelip-kelip terang. Seolah pamer dengan bintang-bintang lain. Dominasi mereka tidak tertandingi. Membuat bintang lain ciut nyalinya.
Kudengar baik-baik penjelasan tuwowo. “Kalau pas cerah, jumlah bintangnya ada sembilan,” ucapnya sembari menyemburkan asap rokok yang sengaja dibentuknya menjadi bulat-bulat. Bergelung sekejap lalu buyar bentuknya.
Aku terkesima dengan tujuh bintang itu. Mereka seperti putri-putri cantik yang bersinar diantara dayang-dayangnya. Kartika. Begitulah namanya. Aku tidak peduli dengan keganjilan nama itu. Betapa tidak, kartika jika diartikan adalah bintang. Maka menjadi aneh bila kita memanggilnya Bintang Kartika. Bintang bintang. Tapi aku sudah terlanjur disihir oleh namanya, terlebih pesona mereka.

Share:

1 comment:

  1. ᐈ Casino Site With Live dealers in NJ. Play with top
    Play Live Dealer at the largest live dealer casino luckyclub.live in NJ, Live dealer games. · Best Live Casino in NJ. Get your Sign up Bonus and

    ReplyDelete

Search This Blog