Tempat Kata-Kata Bermuara

[NOVEL - THE SKY OF LIMA] EPISODE 1 : UN MOMENTO


Nyaris
Presentasi hari terakhirku di tempat magang nyaris berujung kegagalan. Botol air mineral di depanku tumpah dengan sukses dan membasahi draf yang harus aku serahkan pada tim redaksi Harian Bagaskara, tempatku magang lima bulan terakhir. Untungnya, Yoli, teman magangku sudah membuat beberapa salinan draf itu sebelum rapat. Jadi kali ini aku berhutang budi padanya, dan, sekali lagi harus mengakui kecerdasannya.
“Setiap draf harus kita gandakan dan simpan pada beberapa media, jadi kalau hilang satu masih ada gantinya,” begitulah petuahnya padaku saat menggandakan draf dengan mesin Xerox tua di tempatku magang.
Maka sebagai ucapan terima kasih atas keberhasilan presentasi dibulan terakhirku magang, aku menawarinya makan setelah rapat selesai. “Kapan-kapan sajalah, aku sudah ada janji dengan Manda. Harus ke Pak Pur buat nyerahin proposal skripsi,” dia menolak tawaranku dengan alasan yang logis. “Lagipula ini kan akhir pekan, kamu kan biasanya keluar sama si Kinan,” kalimat terakhir Yoli membuatku tertampar.
Hampir saja aku lupa kalau ada janji dengan Kinan, pacarku. “Oh my god, thanks Yo, aku lupa kalau ada janji sama dia.”
“Tuh kan, pantesan dia sering ngambek,” Yoli meledek. Kami keluar bersamaan diiringi senyum manis satpam penjaga pintu. “Ok, aku duluan ya, itu Manda udah di depan.” Yoli menunjuk ke arah gerbang yang jaraknya dua ratus meter di depan kami.
Tampak di luar gerbang seorang perempuan rambut panjang sudah menunggu di atas motor vega tua. Manda teman kami berdua di kampus, dia juga magang di Harian Bagaskara, cuman dia di bagian dokumentasi. Sebelum aku berbelok ke arah parkiran dia sempat tersenyum lebar dan melambaikan tangannya padaku. Dan, saat aku benar-benar sudah di parkiran mereka berdua sudah hilang.
Aku sempat memandang ke langit sebelum menyalakan motorku. Langit terlihat seragam, abu-abu gelap tanda sebentar lagi akan hujan. Dengan bergegas aku memacu motorku menuju tempat kesukaan Kinan : Rucola Cafe.
***
Hujan yang datang diluar musim membuat jalanan Surabaya menjadi arena balap dadakan. Orang-orang memacu kendaraan di jalanan kota layaknya setan yang berebut mangsa untuk digoda. Semua orang beradu cepat dengan tetes-tetes hujan yang menggelayut di langit dan siap sedia untuk jatuh kapan saja. Namun sekuat apapun kendaraan dipacu pada akhirnya hujan selalu menang dan mengalahkan para ‘anak-anak jalan’ yang selalu sial. Seperti aku saat ini.
Baru saja aku keluar dari Jalan Ahmad Yani dan rintik hujan sudah berjatuhan merayakan kemenangannya. Aku sempat berpikir menghentikan motor dan mengenakan jas hujan seperti pengendara yang lain. Namun akhirnya niat itu kuurungkan karena tempat tujuanku juga tinggal beberapa menit lagi. Lagipun, aku tidak ingin membuat Kinan menunggu terlalu lama. Aku bisa ganti baju di pom bensin dekat Rucola Cafe.
Aku menambah kecepatan dan saat mendekati Rucola Cafe aku berbelok ke pom bensin yang bersebrangan jalan dengan Rucola Cafe. Beruntungnya aku hari ini, saat selesai berganti baju hujan sudah sedikit mereda. Dengan percaya diri aku memasuki Rucola Cafe. Kafe satu ini selalu tampak suram menurutku. Tapi entah mengapa Kinan menyukai tempat ini. Mungkin juga karena dia menyukai makanan Italia sehingga selalu memilih tempat ini sebagai alternatif akhir pekannya bersamaku.
Aku sendiri sebenarnya tidak begitu tertarik dengan makanan Italia. Ya, setidaknya aku masih bisa menikmatinya saat bersama Kinan. Setelah memarkirkan motorku, seperti biasa, aku menitipkan tasku di pos satpam dan mengeluarkan setangkai mawar yang tadi sempat kubeli di toko bunga dekat Harian Bagaskara.
Kafe tampak berbeda daripada hari biasanya. Terlihat gelap dan mataku harus beradaptasi beberapa saat agar bisa menyesuaikan dengan kondisi sekitar. Setelah beberapa langkah terdengar denting piano dari arah kiriku. Aku kenal sekali susunan not-not yang dimainkan oleh sang pemain piano. Marry me dari Bruno Mars. Lagu kesukaan Kinan yang menurutnya tidak pernah lekang oleh waktu meskipun lagu-lagu tema cinta yang baru sudah banyak bermunculan.
Aku tidak menduga hal apa yang selanjutnya akan terjadi. Karena aku sendiri masih mencari-cari di meja manakah Kinan berada. Lamat-lamat aku bisa mengenali dan menemukan wajah Kinan di antara banyaknya siluet kepala. Yang membuatku terkejut selanjutnya adalah tiba-tiba ruangan menjadi terang. Dan, di sana, di depan Kinan berlututlah seseorang yang memberinya sebuah cincin lengkap dengan kotaknya berbentuk hati berbalut kain beludru merah.
Apa yang terjadi kemudian membuat aku tidak betah berlama-lama di tempat itu. Kinan menerimanya dengan air mata bahagia yang jatuh dari ujung matanya. Laki-laki itu kemudian berdiri dan memeluk Kinan dengan sangat erat. Aku jijik melihat adegan picisan sialan itu, tapi meskipun begitu langkahku terasa berat, entah itu untuk meninggalkan tempat terkutuk ini atau mendekati Kinan dan menghajar laki-laki sialan itu.
Suara tepuk tangan bergemuruh memenuhi seisi kafe. Rupa-rupanya pengunjung lain “bersekongkol” untuk menyukseskan acara lamaran itu. Hatiku sudah dipenuhi oleh amarah dan hendak melangkah lagi untuk mendekati mereka, tapi lagi dan lagi, aku menghentikan langkah setelah tahu siapa laki-laki itu. Setelah puas berpelukan mereka saling melepaskan diri dan wajah Brahma terpatri kuat di pengelihatanku. Brahma yang sempurna. Brahma yang adalah sahabatku.
Tanpa komando dan berpikir lagi aku berbalik keluar dari tempat itu. Aku sempat mendengar Kinan berteriak memanggil namaku. Mungkin dia ingin melihat ekspresiku setelah puas melakukan adegan film India dan berhasil membuat hatiku hancur. Mungkin juga dia memanggilku karena ingin menambah sakit hatiku dengan memamerkan kebahagiaannya di depanku kemudian memutuskanku dengan cara memalukan.
Dengan langkah cepat aku berlari ke pos satpam dan mengambil tas yang ku titipkan. Kuberikan bunga di tanganku kepada satpam penjaga, “Bunga ini lebih terhormat di tangan bapak.” Lalu kutinggalkan satpam yang terbengong-bengong itu. Kutinggalkan tempat itu bersamaan dengan hujan yang jatuh dari langit. Hujan yang menutup air mataku.
Share:

No comments:

Post a Comment

Search This Blog